SEJARAH
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
HUKUM
ISLAM
Penulis-penulis sejarah Hukum Islam telah
mengadakan pembagian tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan Hukum Islam.
Pembagian ke dalam tahap-tahap ini tergantung pada tujuan dan ukuran yang
mereka pergunakan dalam mengadakan pentahapan. Ada yang membaginya ke dalam 5,
6 atau 7 tahapan. Namun pada umumnya mereka membagi tahap-tahap perkembangan
dan pertumbuhan Hukum Islam itu ke dalam 5 masa:
1. Masa
Nabi Muhammad (610-632 M)
2. Masa
Khulafa Rasyidin (632-662 M)
3. Masa
Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan (abad VII-X M)
4. Masa
Kelesuan Pemikiran (abad X-XIX M)
5. Masa
Kebangkitan Kembali (abad XIX M sampai sekarang)
Berikut adalah penjabran dari ke lima masa sejarah pertumbuhan
dan perkembangan hukum Islam:
1.1 Masa Nabi Muhammad (610-632 M)
Agama Islam sebagai induk hukum Islam muncul di Semenanjung
Arab, di suatu daerah tandus yang dikelilingi oleh laut pada ketiga sisinya dan
lautan pasir pada sisi keempat. Daerah ini adalah daerah yang sangat panas, di
tengah-tengah gurun pasir yang amat sangat luas yang mempengaruhi cara hidup
dan cara berfikir orang-orang Badui yang tinggal di tempat itu. Untuk
memperoleh air bagi makanan ternaknya, mereka selalu berpindah-pindah dari satu
tempat ke tempat lain. Alam yang begitu keras membentuk manusia-manusia
individualistis. Perjuangan memperoleh air dan padang rumput merupakan
sumber-sumber perselisihan antar mereka. Dan karena itu pula mereka hidup dalam
klen-klen yang disusun berdasarkan garis patrilineal, yang saling bertentangan.[1]
Kedudukan anak laki-laki sangat penting dalam sebuah keluarga
karena melalui anak laki-laki inilah garis keturunan ditarik dan dia pulalah di
dalam keluarga yang dianggap akan meneruskan keturnan dan membawa nama baik
keluarganya. Dan karena statusnya yang demikian, maka laki-laki mempunyai
kekuasaan yang amat besar dibanding wanita. Kedudukan wanita dipandang sangat
rendah, wanita hanya dibebani kewajiban tanpa imbalan hak sama sekali.[2]
Karena itu pula, jika lahir anak perempuan dalam satu rumah tangga, seluruh
keluarga menjadi malu karena merasa tidak bisa mempertahankan keturunannya.
Karena itu keluarga bersangkutan, berusaha untuk melenyapkan nyawa bayi wanita
atau membunuhnya kemudian setelah ia berumur beberapa tahun.
Pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun Gajah yang bertepatan
dengan tanggal 20 April tahun 571 Masehi, lahirlah seorang bayi yang oleh
ibunya (Aminah) diberi nama Ahmad, dan oleh kakeknya Abdul Muthalib dinamakan
Muhammad. Kedua nama ini berasal dari satu akar kata yang di dalam bahasa Arab
berarti terpuji atau yang dipuji.[3]
Setelah ibunya meninggal Muhammad dipelihara oleh kakeknya
yang bernama Abdul Muthalib dan setelah kakeknya meninggal dunia pula, Muhammad
masih diasuh oleh pamannya Abu Thalib. Muhammad berasal dari keluarga terhormat
tetapi tidak kaya dan sebagai seorang pemuda ia hidup di kalangan mereka yang
berkuasa di Mekah. Pada usia 25 tahun beliau kawin dengan seorang janda yang
bernama Khadijah yang umurnya lima belas tahun lebih tua dari beliau dan masih
mempunyai hubungan kekerabatan.
Pada waktu masyarakat Arab dalam keadaan yang memprihatinkan
Nabi Muhammad sering menyendiri di gua Hira selama bulan Ramadhan. Ketika beliau
mencapai umur 40 tahun, yakni pada tahun 610 Masehi, beliau menerima wahyu
pertama. Pada waktu itu beliau ditetapkan sebagai Rasul atau Utusan Allah. Tiga
tahun kemudian, Malaikat Jibril membawa perintah Allah untuk menyebarluaskan
wahyu yang diterimanya kepada umat manusia.[4]
Namun selain itu Nabi Muhammad juga membawa wahyu-wahyu Allah
tentang ayat-ayat hukum. Menurut penelitian Abdul Wahab Khallaf, Guru Besar
Hukum Islam Universitas Kairo, ayat-ayat hukum mengenai soal-soal ibadah
jumlahnya 140 ayat dalam Al Qur’an. Ayat-ayat ibadah ini berkenaan dengan soal
shalat, zakat dan haji. Sedangkan ayat-ayat hukum mengenai mu’amalah jumlahnya
228, lebih kurang 3% dari jumlah seluruh ayat-ayat yang terdapat dalam l
Qur’an. Klasifikasi 228 ayat hukum yang terdapat dalam Al Qur’an itu menurut
penelitian Prof. Abdul Wahhab Khallaf adalah sebagai berikut:
1. Hukum
Keluarga yang terdiri dari hukum perkawinan dan kewarisan sebanyak 70 ayat.
2. Hukum
Perdata lainnya, di antaranya hukum perjanjian (perikatan) terdapat 70 ayat.
3. Mengenai
hukum ekonomi keuangan termasuk hukum dagang terdiri dari 10 ayat.
4. Hukum
Pidana terdiri dari 30 ayat
5. Hukum
Tata Negara terdapat 10 ayat
6. Hukum
Internasional terdapat 25 ayat
7. Hukum
Acara dan Peradilan terdapat 13 ayat.
Ayat-ayat tersebut pada umumnya berupa prinsip-prinsip saja
yang harus dikembangkan lebih lanjut sewaktu Nabi Muhammad masih hidup, tugas
untuk mengembangkan dan menafsirkan ayat-ayat hukum ini terletak pada diri
beliau sendiri melalui ucapan, perbuatan dan sikap diam beliau yang disebut
sunnah yang kini dapat dibaca dalam kitab-kitab hadis.
1.2 Masa Khulafa Rasyidin (632-662 M)
Dengan wafatnya Nabi Muhammad, berhentilah wahyu yang turun
selama 22 tahun 2 bulan 22 hari yang beliau terima melalui malaikat Jibril baik
waktu beliau masih berada di Makkah maupun setelah hijrah ke Madinah. Demikian
juga halnya dengan sunnah, berakhir pula dengan meninggalnya Rasulullah.
Kedudukan nabi sebagai utusan Allah tidak mungkin diganti,
tetapi tugas beliau sebagai pemimpin
masyarakat Islam dan kepala negara berpindah kepada Khulafa Rasyidin
(khalifah). Pengganti nabi sebagai khalifah dipilih dari kalangan sahabat nabi
sendiri. (Sahabat artinya: teman,rekan, kawan. Sahabat nabi adalah orang hidup
semasa dengan nabi, menjadi teman atau kawan Nabi Muhammad dalam
menyebarluaskan ajaran Islam). Pada masa Khulafaur Rasyidin ini perkembangan
hukum islam dibagi menjadi empat periode:
1) Khalifah
Abu Bakar As-Siddiq
Setelah
nabi wafat, Abu Bakar As-Siddiq diangkat sebagai khalifah pertama. Khalifah
adalah pimpinan yang diangkat setelah nabi wafat untuk menggantikan nabi dan
melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan pemerintah. Abu bakar adalah
ahli hukum yang tinggi mutunya. Ia memerintah selama dua tahun (632-634 M). Sebelum masuk Islam, dia terkenal sebagai
orang yang jujur dan disegani. Ikut aktif mengembangkan dan menyiarkan Islam.
Atas usaha dan seruannya banyak orang-orang terkemuka memeluk agama Islam yang
kemudian terkenal sebagai pahlawan-pahlawan Islam yang ternama. Dan karena
hubungannya yang sangat dekat dengan Nabi muhammad, beliau mempunyai pengertian
yang dalam tentang jiwa Islam lebih dari yang lain. Karena itu pula
pemilihannya sebagai khalifah pertama adalah tepat sekali.[5]
Berikut adalah hal-hal penting dalam masa pemerintahannya:
a)
Pidato pelantikannya dijadikan dasar
dalam menentukan hubungan antara rakyat dengan penguasa juga antara pemerintah
dengan warga negara.
b)
Cara penyelasaiannya jika timbul masalah
di dalam masyarakat mula-mula pemecahan masalahnya dicari dalam wahyu Allah.
Kalu tidak terdapat disana, dicarinya dalam sunnah nabi. Kalau dalam sunnah
Rasulullah ini pemecahan masalah tidak diperoleh, Abu Bakar bertanya kepada
para sahabat nabi yang dikumpulkannya dalam satu majlis. Mereka yang duduk
dalam majlis itu melakukan ijtihad bersama (jam’i) atau ijtihad kolektif.
Timbullah keputusan atau konsensus bersama yang disebut ijmak mengenai masalah
tertentu. Sehingga dalam masa pemerintahan ini sering disebut Ijmak Sahabat.
c)
Atas anjuran Umar, dibentuklah panitia
khusus yang bertugas mengumpulkan catatan ayat-ayat Al Qur’an yang telah
ditulis pada zaman nabi. Setelah Abu Bakar wafat himpunan naskah Al Qur’an disimpan
oleh Umar Bin Khattab dan diberikan kepada Hafsah
(janda Nabi Muhammad).
2) Khalifah
Umar Bin-Khatab
Setelah
Abu Bakar meninggal dunia, Umar menggantikan kedudukannya sebagai khalifah II.
Beliau memerintah dari tahun 634-644 Masehi. Semasa pemerintahan Saidina Umar,
kekuasaan Islam berkembang dengan pesat ia selalu:
a)
Umar turut aktif menyiarkan agama Islam.
Ia melanjutkan usaha Abu Bakar meluaskan daerah Islam hingga menguasai
Mesopotamia dan sebagian kawasan Parsi dari pada kekuasaan Persia (berjaya menamatkan
kekuasaan persia), dan menguasai Mesir, Palestina, Baitulmaqdis, Syria, Afrika
Utara, dan Armenia dari pada Byzantine (Romawi Timur).
b)
Menetapkan tahun Islam yang terkenal
dengan tahun Hijriyah berdasarkan peredaran bulan (Qamariyah)
c)
Membiasakan melakukan shalat at-tarawih, yaitu shalat sunnat malam
yang dilakukan setelah shalat isya pada bulan Ramadhan.
Saidina
Umar banyak melakukan reformasi terhadap sistem pemerintahan Islam seperti
mengangkat gubernur-gubernur di kawasan yang baru ditakluk dan melantik
panglima-panglima perang yang berkebolehan. Semasa pemerintahannya juga kota
Basra dan Kufah dibina. Saidina Umar juga amat dikenali karena kehidupannya
yang sederhana. Beliau juga melakukan banyak sekali tindakan di lapangan hukum:
a)
Tentang talak tiga diucapkan sekaligus
di suatu tempat pada suatu ketika, dianggap sebagai talak yang tidak mungkin
rujuk (kembali) sebagai suami istri, kecuali salah satu pihak (dalam hal ini
bekas istri) kawin lebih dahulu dengan orang lain.
b)
Al Qur’an telah menetapkan
golongan-golongan yang berhak menerima zakat, termasuk muallaf (orang-orang yang
baru memeluk agama islam) ditetapkan
sebagai Mustahib (orang yang menerima zakat).
c)
Menurut Al Qur’an surat Al-Maidah (5)
ayat 38 orang yang mencuri diancam dengan hukuman potong tangan
d)
Di dalam Al Qur’an (QS 5:5) terdapat
ketentuan yang membolehkan pria muslim menikahi wanita ahlul kitab (wanita Yahudi dan Nasrani).[6]
Saidina
Umar wafat pada tahun 644 selepas dibunuh oleh seorang hamba Parsi yang bernama
Abu Lu’lu’ah. Dia menikam Saidina Umar sebanyak enam kali sewaktu Saidina Umar
menjadi imam di Masjid al-Nabawi, Madinah. Saidina Umar meninggal dunia dua
hari kemudian dan dikebumikan di sebelah makam Nabi Muhammad SAW dan makam
Saidina Abu Bakar.
3)
Kholifah Utsman Bin Affan
Selanjutnya masuk ke dalam masa pemerintahan Utsman
Bin Affan yang berlangsung dari tahun 644-656 M. Ketika dipilih, Usman telah
tua berusia 70 tahun dengan kepribadian yang agak lemah. Kelemahan ini
dipergunakan oleh orang-orang di sekitarnya untuk mengejar keuntungan pribadi,
kemewahan dan kekayaan. Hal ini dimanfaatkan terutama oleh keluarganya sendiri
dari golongan Umayyah.
Kemudian perluasan daerah Islam diteruskan ke India,
Maroko dan Konstantinopel. Jasanya yang paling besar dan yang paling penting yaitu
tindakannya telah membuat Al Qur’an standar (kodifikasi Al Qur’an).
Standarisasi Al Qur’an dilakukannya karena pada masa pemerintahannya, wilayah
Islam telah sangat luas di diami oleh berbagai suku dengan bahasa dan dialek
yang berbeda. Karena itu, dikalangan pemeluk agama Islam, terjadi perbedaan
ungkapan dan ucapan tentang ayat-ayaat Al Qur’an yang disebarkan mealui
hafalan.
4)
Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Setelah
Usman meninggal dunia, orang-orang terkemuka memilih Ali Bin Abi Thalib menjadi
khalifah ke-4. Ia memerintah dari tahun 656-662 M. Ali tidak dapat berbuat
banyak dalam mengembangkan agama Islam karena keadaan negara tidak stabil. Di
sana timbul bibit-bibit perpecahan yang serius dalam tubuh umat Islam yang
bermuara pada perang saudara yang kemudian menimbulkan kelompok-kelompok. Di
antaranya dua kelompok besar yakni, kelompok Ahlussunah Wal Jama’ah, yaitu kelompok atau jamaah umat Islam yang
berpegang teguh pada Sunnah Nabi Muhammad dan Syi’ah yaitu pengikut Ali Bin Abi Thalib.
Penyebab perpecahan
diantara dua kelompok ini adalah perbedaan pendapat mengenai “masalah politik”
yakni siapa yang berhak menjadi khalifah, kemudian disusul dengan masalah
pemahaman akidah, pelaksanaan ibadah, sistem hukum dan kekeluargaan. Golongan
syi’ah sekarang banyak terdapat di Libanon, Iran, Irak, Pakistan, India dan
Afrika Timur. Sumber hukum Islam di masa Khulafa Rasyidin ini adalah Al Qur’an,
Ijma’ sahabat dan Qiyas.
1.3 Masa Pembinaan, Pengembangan dan
Pembukuan (abad VII-X M)
Periode
ini berlangsung pembinaan hukum islam dilakukan pada masa pemerintahan khalifah
“Umayyah” (662-750) dan khalifah “Abbasiyah” (750-1258). Di masa inilah (1)
Lahir para ahli hukum Islam yang menemukan dan merumuskan garis-garis hukum
fikih Islam; (2) muncul berbagai teori hukum Islam yang masih digunakan sampai
sekarang.[7]
Adapun
faktor-faktor yang mendorong orang menetapkan hukum dan merumuskan garis-garis
hukum adalah[8]:
1. Wilayah
Islam sudah sangat luas dari Hindia, Tiongkok sampai ke Spanyol maka tinggal
berbagai suku bangsa dengan adat istiadat, cara hidup kepentingan yang berbeda
oleh karena itu diperlukan pedoman hukum yang jelas yang dapat mengatur tingkah
laku mereka dalam berbagai bidang kehidupan
2. Telah
ada karya-karya tulis tentang hukum yang dapat digunakan sebagai landasan untuk
membangun serta mengembangkan fikih islam.
3. Telah
tersedia para ahli hukum yang mampu berijtihad untuk memecahkan berbagai
masalah hukum dalam masyarakat.
Pada periode inilah muncul para mujtahid yang sampai sekarang
masih berpengaruh dan pendapatnya diikuti oleh umat Islam diberbagai belahan
dunia. Mereka itu diantaranya adalah:
1.
Imam
Abu Hanifah (Al-Nukman ibn Tsabit) : 700-767 M
Ia lahir
di Kufah pada tahun 80 H dan wafat di Bagdad pada tahun 150 H. Sebagaimana
ulama yang lain, Abu Hanifah memiliki banyak halangan untuk berdiskusi berbagai
ilmu agama. Semula materi yang sering di diskusikan adalah tentang ilmu kalam
yang meliputi al-Qada dan Qadar. Kemudian ia pindah ke materi-materi fiqh
Al-Khatib al-Bagdadi menuturkan bahwa Abu Hanifah tadinya selalu berdiskusi
tentang ilmu kalam.
Sebagaimana
ulama lain, sumber syariat bagi Abu Hanifah adalah Al-Qur’an dan Al-Snnah, akan
tetapi ia tidak mudah menerima hadiah yang diterimanya. Lahannya menerima hadis
yang diriwayatkan oleh jama’ah dari jama’ah, atau hadist yang disepakati oleh
fuqaha di suatu negeri dan diamalkan; atau hadist ahad yang diriwayatkan dari
sahabat dalam jumlah yang banyak (tetapi tidak mutawatir) yang di
pertentangkan.[9]
Abu
Hanifah dikenal sebagai imam ahlul al-ra’yu, dalam menghadapi nas al-Qur’an dan
al-Sunnah. Maka ia dikenal sebagai ahli di bidang ta’lil al-ahkam dan qiyas.
2.
Malik
Bin Anas: 713-795 M
Ia lahir
pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H. Malik bin Anas tinggal di Madinah dan tidak pernah
kemana-mana kecuali beribadah Haji ke Mekkah. Imam Malik menempatkan Al-Qur’an
sebagai sumber hukum pertama, kemudian al hadist sedapat mungkin hadist yang
mutawatir atau masyhur.
3.
Muhammad
Idris Al-Syafi’i: 767-820 M
Ia lahir
di Ghazah atai Asqalan pada tahun 150 H. Ia berguru kepada Imam Malik di
Madinah. Kesetiannya kepada Imam Malik ditunjukkan dengan nyantri di tempat
sang guru hingga sang guru wafat pada tahun 179 H. Imam Syafi’i pernah juga
berguru kepada murid-murid Abu Hanifah. Ia tinggal di Bagdad selama dua tahun,
kemudian kembali ke Mekkah. Akan tetapi tidak lama kemudian ia kembali ke Irak
pada tahun 198 H, dan berkelana ke Mesir.
Dalam
pengembaraannya, ia kemudian memahami corak pemikiran ahl al-ra’yu dan ahl
al-Hadis. Ia berpendapat bahwa tidak seluruh metode ahl al-ra’yu baik diambil
sama halnya tidak seluruh metode ahl al-Hadis harus diambil. Akan tetapi
menurutnya tidak baik pula meninggalkan seluruh metode berpikir mereka
masing-masing. Dengan demikian Imam Syafi’i tidak fanatik terhadap salah satu mazhab,
bahkan berusaha menempatkan diri sebagai penegah antara kedua metode berpikir
yang ekstrim. Ia berpendapat bahwa qiyas merupakan metode yang tepat untuk
menjawab masalah yang tidak manshus.[10]
Menurut Imam Syafi’i tata urutan sumber Hukum Islam adalah:
1) Al
Qur’an dan Al-Sunnah
2)
Bila tidak ada dalam Al Qur’an dan Al
Sunnah, ia berpindah ke Ijma.
4.
Ahmad
Bin Hambal (Hanbal): 781-855 M
Ia lahir
di Bagdad pada tahun 164 H. Ia
tinggal di Bagdad sampai akhir hayatnya yakni tahun 231 H. Negeri-negeri yang
pernah ia kunjungi untuk belajar antara lain adalah Basrah, Mekkah, Madinah,
Syam dan Yaman. Ia pernah berguru kepada Imam Syafi’i di Bagdad dan menjadi
murid Imam Syafi’i yang terpenting, bahkan ia menjadi mujtahid sendiri.
Menurut
Imam Ahmad, sumber hukum pertama adalah Al-Nushush, yaitu Al Qur’an dan Al
Hadist yang marfu. Apabila persoalan hukum sudah didapat dalam nas-nas
tersebut, ia tidak beranjak ke sumber lain, tidak pula menggunakan “metode
ijtihad”. Apabila terdapat perbedaan pendapat di antara para sahabat, maka Imam
akan memilih pendapat yang paling dekat dengan Al Qur’an dan Al Sunnah.
1.4 Masa Kelesuan Pemikiran (abad X-XIX
M)
Sejak abad kesepuluh dan kesebelas Masehi, ilmu hukum Islam
mulai berhenti berkembang. Para ahli hukum pada masa ini hanya membatasi diri,
mempelajari pikiran-pikiran para ahli hukum sebelumnya yang telah dituangkan
dalam berbagai madzab.
Yang menjadi ciri umum pemikiran hukum dalam periode ini
adalah para ahli hukum tidak lagi memusatkan usahanya untuk memahami prinsip-prinsip
atau ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al Sunnah, tetapi
pikiran-pikirannya ditumpukan pada pemahaman perkataan-perkataan,
pikiran-pikiran hukum para imam-imamnya. Dinamika yang terus-menerus tidak lagi
ditampung dengan pemikiran hukum pula. Pada saat itu masyarakat yang terus
berkembang tidak diiringi dengan pengembangan pemikiran hukum Islam bahkan
pemikiran hukum Islam berhenti. Keadaan ini dalam sejarah dikenal dengan
periode “kemunduran” dalam perkembangan hukum Islam. Yang disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain:
1. Kesatuan
wilayah Islam yang luas, telah retak dengan munculnya beberapa negara baru baik
di Eropa, Afrika, Timur Tengah dan Asia.
2. Ketidak
stabilan politik yang menyebabkan ketidak stabilan berfikir.
3. Pecahnya
kesatuan kenegaraan/ pemerintahan itu menyebabkan merosotnya kewibawaan
pengendalian perkembangan hukum.
4. Dengan
demikian timbullah gejala kelesuan berpikir dimana-mana dan para ahli tidak
mampu lagi menghadapi perkembangan keadaan dengan mempergunakan akal pikiran
yang merdeka dan bertanggungjawab. Dengan demikian perkembangan hukum Islam
menjadi lesu dan tidak berdaya menghadapi tantangan zaman.[11]
1.5 Masa Kebangkitan Kembali (abad XIX
sampai sekarang)
Setelah mengalami kelesuan,kemunduran beberapa abad lamanya,
pemikiran Islam bangkit kembali. Ini terjadi pada bagian kedua abad ke-19.
Kebangkitan kembali pemikiran Islam timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid
tersebut di atas yang telah membawa kemunduran hukum Islam. Muncullah
gerakan-gerakan baru di antara gerakan para ahli hukum yang menyarankan kembali
kepada Al Qur’an dan Sunnah. Gerakan ini, dalam kepustakaan disebut gerakan salaf (salafiyah) yang ingin kembali
kepada kemurnian ajaran Islam di zaman salaf (=permulaan), generasi awal
dahulu.
Sebagai reaksi terhadap taqlid di atas pada periode kemunduran
itu sendiri telah muncul beberapa ahli yang ingin tetap melakukan ijtihad,
untuk menampung dan mengatasi persoalan-persoalan perkembangan masyarakat. Pada
abad ke-14 telah timbul seorang mujtahid besar, namanya Ibnu Taimiyyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziah (1292-1356). Dilanjutkan pada abad ke-17
oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab (1703-1787) yang terkenal dengan gerakan Wahabi
yang mempunyai pengaruh pada gerakan Padri di Minangkabau (Indonesia). Usaha
ini dilanjutkan kemudian oleh Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) di lapangan
politik (H.M. Rasjidi, 1976:20). Ia menilai kemunduran umat Islam disebabkan
antara lain karena penjajahan Barat. Karena itu, agar umat Islam dapat maju
kembali, untuk itu ia menggalang persatuan seluruh umat Islam yang terkenal
dengan nama Pan Islamisme.
Cita-cita Jamaluddin kemudian dilanjutkan oleh muridnya
Mohammad Rasjid Ridha (1865-1935) yang mempengaruhi pemikiran umat Islam di
seluruh dunia. Di Indonesia, pikiran-pikiran Abduh diikuti antara lain oleh
gerakan sosial dan pendidikan Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan
di Yogyakarta tahun 1912.
Paham Ibnu Taimiyah, seorang tokoh pemikir abad ke-14 M
membagi ruang lingkup agama Islam ke dalam dua bidang besar yakni ibadah dan mu’amalah, dikembangkan lebih lanjut oleh Mohammad Abduh. Di
antaranya adalah:
1. Membersihkan
Islam dari pengaruh-pengaruh dan kebiasaan-kebiasaan yang bukan Islam
2. Mengadakan
pembaruan dalam sistem pendidikan Islam, terutama di tingkat perguruan tinggi
3. Merumuskan
dan menyatakan kembali ajaran Islam menurut alam pikiran modern
4. Mempertahankan/membela
(ajaran) Islam dari pengaruh Barat dan serangan agama lain
5. Membebaskan
negeri-negeri yang penduduknya beragama Islam dari belenggu penjajahan
Menurut Mohammad Abduh, dalam kehidupan sosial, kemiskinan dan
kebodohan merupakan sumber kelemahan umat dan masyarakat Islam. Oleh karena itu
kemiskinan dan kebodohan harus di “perangi” melalui pendidikan. Selain itu
Poligami menurut Abduh adalah pintu darurat yang hanya dapat dilalui kalau
terjadi sesuatu yang dapat membahayakan kehidupan perkawinan dan keluarga.
Pemahaman Mohammad Abduh mengenai ayat ini sekarang tercermin dalam
Undang-Undang perkawinan umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Mengenai mazhab, Mohammad Abduh bermaksud hendak menghapuskan
dinding pemisah antar mazhab, sekurang-kurangnya mengurangi kalau tidak dapat
menghapuskan kefanatikan mazhab sekaligus dan menganjurkan agar umat Islam yang
memenuhi syarat kembali lagi menggali hukum Islam dari sumbernya yang asli,
yakni Al Qur’an dan Sunnah Muhammad (Rasulullah), sebagaimana yang pernah
terjaadi dalam sejarah (hukum) Islam.
Ia bermaksud pula mengembalikan fungsi akal pikiran ke
tempatnya yang benar dan mempergunakannya secara baik untuk memecahkan berbagai
masalah dalam hidup dan kehidupan manusia pada zamannya. Mohammad Abduh
terkenal dengan gerakan salaf
(gerakan salafiyah) mempunyai pengaruh yang besar di negara-negara Islam.
Zaman kebangkitan pemikiran hukum Islam ini dilanjutkan
sekarang dengan sistem baru dalam mempelajari dan menulis hukum Islam. Di
samping sistem pemberian materi kuliah khususnya di Fakultas Hukum yang telah
berubah tersebut, juga diadakan cara-cara baru dalam menuliskan (melukiskan)
hukum Islam. Selain kebangkitan pemikiran hukum Islam di kalangan orang-orang
Islam sendiri, terutama di masa akhir-akhir ini, perhatian dunia terhadap
perkembangan hukum Islam menjadi bertambah.
Dalam rangka kembali kepada hukum Islam, akhirnya di Lybia
dibentuk suatu Panitia Ilmiah Hukum yang akan mempelajari hukum Islam secara
mendalam, di bawah pimpinan seorang ahli hukum terkenal bernama Ali Mansur.
Panitia ini bertugas meneliti dan mempelajari hukum Islam dalam segala bidang. Bahan-bahan
hukum yang mereka pergunakan dalam menyusun kodifikasi hukum Islam itu bukan
hanya bahan-bahan yang terdapat di kalangan ahlus
sunnah wal jama’ah saja, tetapi juga dari aliran lain yang terdapat dalam
semua bahan-bahan hukum itu, dan memilih dengan hati-hati pemikiran-pemikiran
yang sesuai dengan kondisi dan situasi umat Islam di abad ke-20 ini.
Di Indonesia atas kerja sama Mahkamah Agung dengan Departemen
Agama telah dikompilasikan Hukum Islam menegenai perkawinan, kewarisan, dan
perwakafan. Kompilasi ini telah disetujui oleh para ulama dan ahli hukum Islam
pada bulan Februari 1988 dan (tahun 1991) telah diberlakukan bagi umat Islam
Indonesia yang menyelesaikan sengketa mereka di Peradilan Agama (salah satu
unsur kekuasaan kehakiman di tanah air kita) sebagai hukum terapan.
[1] Philip
K. Hitti, 1970: 13-16
[2] Daud,
Mohammad Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan
Tatata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007)
hal. 155
[3] Muhammad
Husein Haekal, Sejarah Hidup Muhammad
(Jakrta: Pustaka Jaya, 1979) , hal. 55
[4] Islam
Untuk Disiplin Ilmu Hukum, 2002, hal:31
[5]
Hazairin, 1955
[6] H.M
Rasjidi: 1973
[7] Mohammad
Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cetakan keenam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007) hal. 182
[8] Ibid,
hal 165
[9] Muhammad
Zuhri.op.cit, hal 98
[10] Ibid,
hal: 113
[11] A.
Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam
(Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal. 174-175
bagus blognya mba :)
BalasHapusmakasih ya,,,
Hapussipp..
BalasHapuskc
BalasHapusboleh boleh
BalasHapusMantap! Sangad membantu! 😊😊😊
BalasHapussubhanallah bagus mbk, sangat membantu
BalasHapus