Jumat, 17 Mei 2013

PENGANGKATAN ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM





PENGANGKATAN ANAK
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

MAKALAH
Diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menghadapi Ujian Akhir Semester Gasal dan mencapai nilai yang maksimal

Oleh
Restu Dhika Listya Pawitri
(120710101366)

MATA KULIAH BAHASA INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER
2012











KATA PENGANTAR
Fat1hah

         

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT  atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya yang telah diberikan kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu yang berjudul “PENGANGKATAN ANAK dalam PERSPEKTIF HUKUM ISLAM”
Oleh karena itu dengan mempelajari dan mengerti akan hal-hal yang  berisikan  tentang konsep pengangkatan anak dalam prespektif hukum Islam, syarat-syarat pengangkatan anak serta akibat hukum yang timbul dari pengangkatan anak.
Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua khususnya sebagai mahasiswa Fakultas Hukum agar dapat  mengetahui tentang pengangkatan anak dalam perspektif Hukum Islam. Tugas pembuatan makalah Bahasa Indonesia ini sangat menambah wawasan bagi kami semua. Tugas ini dikerjakan secara berkelompok ( 10 orang ). Dan banyak pihak yang telah memberikan saran, pengetahuan dan pikirannya yang sangat membantu kami khususnya kepada Dra. Tutik Patmiati selaku dosen pembimbing mata kuliah Bahasa Indonesia. Untuk itu dengan rasa syukur dan hormat setinggi-tingginya, kami mengucapkan ribuan terima kasih.
Dalam penyusunan tugas ini kami menyadari bahwa hasilnya masih jauh dari sempurna dan tidak terlepas dari kesalahan, hal ini dapat kami rasakan
sebagai akibat pengetahuan yang sangat masih terbatas, oleh karena itu kami mengharapkan nasehat, saran dan kritik dari semua pihak.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingannya, Amin……
                                                            Jember, 10 Desember 2012
Penyusun


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ..................................................................... .........   i
DAFTAR ISI .................................................................................... ii
BAB I              PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang ......................................................          1
1.2  Rumusan Masalah .................................................          3
1.3  Tujuan dan Manfaat ..............................................          3
1.4  Landasan Teori .....................................................           4
BAB II            PEMBAHASAN
2.1  Tinjauan Umum Mengenai Pengangkatan Anak
                               2.1.1 Pengertian Anak Angkat ............................           6
                               2.1.2 Pengertian Pengangkatan Anak ..................           7
2.1.3       Hukum Pengangkatan Anak ....................           8
2.2 Konsep Pengangkatan Anak Dalam
Perspektif Hukum Islam ....................................            13
2.3    Syarat Pengangkatan Anak ..............................            19
2.4    Akibat Hukum Yang Timbul Dengan Adanya
       Pengangkatan Anak Dalam Perspektif
Hukum Islam ..................................................... 20
BAB III          PENUTUP
3.1 Kesimpulan ........................................................  ......      iii
3.2 Saran .................................................................   ......      iv
DAFTAR PUSTAKA




BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Islam adalah agama yang universal diturunkan dimuka bumi sebagai rahmatan lilalami yang mengatur segenap tatanan hidup manusia dan sebagai rahmat bagi seluruh alam. Sistem dan konsep yang dibawa Islam sesungguhnya padat nilai dan memberikan manfaat yang luar biasa kepada umat manusia. Konsepnya tidak hanya berguna pada masyarakat muslim tetapi dapat dinikmati oleh siapapun. Sistem Islam ini tidak mengenal batas, ruang dan waktu, tetapi selalu baik kapan dan dimana saja tanpa menghilangkan faktor–faktor kekhususan masyarakat. Semakin utuh konsep itu diaplikasikan, semakin besar manfaat yang diraih.
Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur mencakup seluruh aspek kehidupan baik politik, hukum, sosial dan budaya, serta masalah pengangkatan anak. Orang Islam dapat mengaurangi kehidupan dan memecahkan setiap problem dalam kehidupan.
Anak merupakan amanah sekaligus karunia Allah SWT, bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda lainnya. Anak sebagai amanah Allah harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi yaitu Hak Asasi Anak. Di lihat dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah pewaris dan potret masa depan bangsa di masa datang, generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan deskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
Dalam kesempatan ini kami ingin mengemukakan tentang salah satu persoalan kebutuhan manusia, yakni khusus aspek pengangkatan anak  dan beberapa cara pengangkatan anak. Karena pengangkatan anak dan anak angkat termasuk bagian substansi dari hukum perlindungan anak yang telah menjadi bagian dari hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sesuai dengan adat-istiadat dan motivasi yang berbeda-beda serta perasaan hukum yang hidup dan berkembang di masing-masing daerah, walaupun di Indonesia masalah pengangkatan anak tersebut belum diatur secara khusus dalam undang-undang.
Dalam hukum Islam tidak mengenal pengangkatan anak dalam arti menjadi anak kandung secara mutlak, sedang yang ada hanya di perbolehkan atau suruhan untuk memelihara dengan tujuan memperlakukan anak dalam segi kecintaan pemberian “nafkah, pendidikan atau pelayanan dalam segala kebutuhan yang bukan memperlakukan sebagai anak kandung (nasab).
       Sedangkan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam praktek pengadilan agama, berdasarkan pasal 171 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam yang berlaku di Indonesia Inpres No I Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, menetapkan bahwa “Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.”[1]
Definisi anak angkat dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut, jika dibandingkan dengan definisi anak angkat dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, memiliki kesamaan substansi. Pasal 1 angka 9 dinyatakan bahwa “Anak Angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau  penetapan pengadilan.[2]

1.2  Rumusan Masalah
Dalam rangka memperoleh hasil penulisan yang baik dan memenuhi syarat penulisan karya ilmiah serta untuk mempermudah pengumpulan data dan pembahasannya, maka dalam makalah ini diperlukan adanya perumusan masalah.
Perumusan masalah dalam suatu karangan ilmiah merupakan hal yang penting agar masalah yang dibahas tidak menyimpang dari tujuan permasalahan yang akan dibuat penulisan, demikian pula data sampel yang dicari dapat diperoleh dalam penelitian sesuai dengan tujuan penelitian.[3]
Sesuai dengan latar belakang  masalah di atas, maka penulis merumuskan  masalah-masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:
1.   Bagaimana konsep pengangkatan anak dalam prespektif hukum Islam?
2.   Apa syarat dari pengangkatan anak?
3.   Apa akibat hukum yang timbul dengan adanya pengangkatan anak dalam perspektif hukum Islam?

1.3  Tujuan dan Manfaat
Suatu kegiatan penelitian sudah tentu mempunyai suatu tujuan yang jelas dan pasti. Adapun tujuan ini diperlukan adalah untuk memberi petunjuk tuntunan atau arahan dalam melangkah sesuai dengan maksud dari penelitian.
Dalam penelitian ini tujuan yang hendak dicapai adalah sebagai berikut:
1.   Untuk memahami konsep pengangkatan anak dalam perspektif hukum Islam.
2.   Untuk memahami syarat-syarat hukum apa saja dalam  pengangkatan anak.
3.   Untuk memahami akibat hukum apa yang timbul dengan adanya pengangkatan anak dalam perspektif hukum Islam.
Selain tujuan penelitian tersebut diatas, penulis berharap dari penulisan ini dapat mencapai manfaat sebagai berikut :
1.   Manfaat Teoritis
Kejelasan yang dapat menimbulkan kemampuan untuk menyusun kerangka teoritis dalam penelitian hukum dan bagaimana suatu teori dapat dioperasionalkan di dalam penelitian ini, maka penelitian ini di harapkan dapat bermanfaat untuk:
a.    Dapat memberikan sumbangan dan masukan pemikiran di bidang ilmu pengetahuan hukum khususnya hukum perdata dan hukum Islam.
b.   Sebagai bahan masukan dan referensi bagi penelitian selanjutnya.

2.   Manfaat Praktis
Berdasarkan penulisan makalah ini diharapkan akan memperoleh pemahaman yang jelas mengenai Konsep pengangkatan Anak dalam Perspektif Hukum Islam, serta dapat digunakan untuk masukan dan evaluasi pelaksanaan penelitian yang telah dilaksanakan selama ini.

1.4  Landasan Teori
Dalam penelitian ini peneliti melakukan penulusuran bahan-bahan pustaka, menetapkan konsep-konsep dasar dan teori-teori yang dianggap relevan untuk menjawab permasalahan dan tujuan penelitian yang telah diuraikan di atas.
Anak adalah amanat Tuhan yang harus senantiasa dipelihara.apapun statusnya, pada dirinya melekat harkat,martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Namun, pada kenyataanya betapa banyak anak yang terlantar, tidak mendapatkan pendidikan karena tidak mampu, bahkan menjadi korban tindak kekerasan. Hidupnya tidak menentu,masa depan tidak jelas, dan rentan terhadap berbagai upaya eksploitasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Untuk mengatasi hal ini, banyak upaya dilakukan. Salah satunya adalah mengangkat anak. Langkah ini sesuai dengan ajaran Islam yang menekankan saling tolong dalam kebaikan dan memelihara anak yatim. Tidak terkecuali di Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim, yang menentang keras dan memberikan kritik mendasar terhadap konsepsi hukum pengangkatan anak versi barat. Mereka memandang sama kedudukan hukum dan hak antara anak angkat dengan anak kandung, baik hak waris,hak perwalian,hak hubungan nasab,karena pengangkatan anak menyebabkan putusnya hubungan nasab dengan orang tua kandung, dan sepenuhnya masuk sebagai anak kandung orang tua angkat. Umat Islam Indonesia dalam melakukan perbuatan hukum pengangkatan anak, telah lama terjerumus dalam lingkaran sistem hukum Jahiliyah yang menyesatkan tersebut . Fenomena ini tentu memerlukan perangkat hukum yang terkait dengan pengangkatan anak.
Sejak disahkan, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 memberikan jawaban. Pengadilan Agama telah diberi kewenangan untuk menangani perkara permohonan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. Hal ini merupakan pemantapan hukum sosiologis yang selama ini menguat di kalangan masayarakat umum Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGANGKATAN ANAK
2.1.1   PENGERTIAN ANAK ANGKAT
Sebelum membahas masalah hukum pengangkatan anak, terlebih dahulu diuraikan secara singkat tentang  defenisi anak angkat. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran dalam pembasan selanjutnya.
Dari berbagai definisi yang diberikan oleh para ahli, ada dua corak pengertian anak angkat sebagaimana disampaikan oleh  Mahmud Syaltut yang dikutif Andi Syamsul Alam  bahwa ada dua pengertian anak angkat. Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status anak kandung kepadanya sesuai dengan surat dan Al-Maidah; 3 untuk saling tolong menolong dalam kebaikan. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan dia diberi status sebagai anak kandung sehingga hak dan kewajibannya sama seperti anak kandung dan dinasabkan kepada orang tua angkatnya. Adopsi yang seperti ini yang dilarang oleh hukum islam karena mengubah nasabnya kepada ayah angkatnya dan itu bertentangan dengan al-Qur’an surat Al-Ahzab: 4 -5.
Persamaan dari dua jenis defenisi tersebut adalah dari aspek perlindungan dan kepentingan anak seperti pemeliharaan, pengasuhan, kasih sayang, pendidikan, masa depan dan kesejahteraan anak. Titik perbedaannya terletak pada penentuan nasab dengan segala akibat hukumnya. Anak angkat yang tidak dinasabkan kepada orang tua angkatnya tidak berhak waris mewarisi, menjadi wali dan lain sebagainya. Sedang anak angkat yang dinasabkan dengan orang tua angkatnya berhak saling mewarisi, menjadi wali, dan hak-hak lain yang dipersamakan dengan anak kandung.
Definisi dalam UUPA tentang Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan (Pasal 1 angka 9).
Prinsipnya adalah bahwa setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir. (pasal 14) pengangkatan anak diatur dalam Pasal 39 – 41 UUPA
2.1.2   PENGERTIAN PENGANGKATAN ANAK
Istilah “Pengangkatan Anak” berkembang di Indonesia sebagai terjemahan dari bahasa Inggris “adoption”, mengangkat seorang anak[4], yang berarti “mengangkat anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri dan mempunyai hak yang sama dengan anak kandung”[5]. Pada saat Islam disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, pengangkatan anak telah menjadi tradisi di kalangan mayoritas masyarakat Arab yang dikenal dengan istilah tabanni yang berarti “mengambil anak angkat”.
Secara etimologis kata tabanni berarti “mengambil anak”[6] . sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah pengangkatan anak disebut juga dengan istilah  “Adopsi” yang berarti “Pengambilan (pengangkatan) anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri”.[7] Istilah “Tabanni” yang berarti seseorang mengangkat anak orang lain sebagai anak, dan berlakulah terhadap anak tersebut seluruh ketentuan hukum yang berlaku atas anak kandung orang tua angkat,[8] pengertian demikian memiliki pengertian yang identik dengan istilah “Adopsi”.
Secara terminologis tabanni menurut Wahbah al-Zuhaili adalah pengangkatan anak (tabanni) “Pengambilan anak yang dilakukan oleh seseorang terhadap anak yang jelas nasab-nya, kemudian anak itu di nasab-kan kepada dirinya”[9]. Dalam pengertian lain, tabanni adalah seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang dengan sengaja me-nasab-kan seorang anak kepada dirinya padahal anak tersebut sudah punya nasab yang jelas pada orang tua kandungnya. Pengangkatan anak dalam pengertian demikian jelas bertentangan dengan Hukum Islam,maka unsur me-nasab-kan seorang anak kepada orang lain yang bukan nasab-nya harus dibatalkan.
Pengangkatan anak (adopsi, tabanni), yaitu suatu pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri. Anak yang di adopsi disebut “anak angkat”, peristiwa hukumnya disebut “Pengangkatan Anak” dan istilah terakhir inilah yang kemudian dalam pembahasan selanjutnya akan digunakan untuk mewakili istilah adopsi. Pengangkatan anak dapat dijumpai dalam lapangan hukum keperdataan, khususnya dalam lapangan hukum keluarga.

2.1.3   HUKUM PENGANGKATAN ANAK
Para ulama fikih sepakat menyatakan bahwa Hukum Islam tidak mengakui lembaga pengangkatan anak yang mempunyai akibat hukum seperti yang pernah dipraktikan masyarakat jahiliyah; dalam arti terlepasnya ia dari hukum kekerabatan orang tua kandungnya dan masuknya ia ke dalam hukum kekerabatan orang tua angkatnya. Hukum Islam hanya mengakui bahkan menganjurkan, pengangkatan anak dalam arti pemungutan dan pemeliharaan anak; dalam artian status kekerabatannya tetap berada di luar lingkungan keluarga orang tua angkatnya dan dengan sendirinya tidak mempunyai akibat hukum apa-apa. Ia tetap anak dan kerabat orang tua kandungnya, berikut dengan segala akibat hukumnya.
Larangan pengangkatan anak dalam arti benar-benar dijadikan anak kandung berdasarkan firman Allah SWT.dalam Surat al-Ahzab (33) ayat 4-5 yang artinya “...Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri), yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maula-maula-mu...”[10]
Apabila ada anak-anak yang ditinggal mati ayahnya karena peperangan atau bencana lain misalnya, seperti peperangan yang terjadi pada masa awal-awal Islam, maka agama Islam memberikan jalan keluar yang lain dari pengangkatan anak tersebut. Umpamanya dengan jalan menikahkan para janda yang ditinggal mati suaminya itu dengan laki-laki lain.[11] Dengan demikian anak-anak janda tersebut tidak lagi menjadi terlantar. Status anak tersebut bukan anak angkat tetapi anak tiri. Kalau anak tiri tersebut perempuan, maka anak tiri itu menjadi mahramnya, dalam arti sudah haram kawin dengannya kalau sudah ba’da dukhul dengan ibu anak tirinya itu.[12]
Para ulama fikih sepakat menyatakan bahwa Hukum Islam melarang praktik pengangkatan anak yang memiliki implikasi yuridis seperti pengangkatan anak yang dikenal oleh hukum Barat/hukum sekuler dan praktik masyarakat jahiliyah; yaitu pengangkatan anak yang menjadikan anak angkat menjadi anak kandung, anak angkat terputus hubungan hukum dengan orang tua kandungnya, anak angkat memiliki hak waris sama dengan hak waris anak kandung, orang tua angkat menjadi wali mutlak terhadap anak angkat. Hukum Islam hanya mengakui pengangkatan anak dalam pengertian beralihnya kewajiban untuk memberikan nafkah sehari-hari, mendidik, memelihara, dan lain-lain, dalam konteks beribadah kepada Allah SWT.
Hukum Islam telah menggariskan bahwa hubungan hukum antara orang tua angkat dengan anak angkat terbatas sebagai hubungan antara orang tua asuh dengan anak asuh yang diperluas,[13] dan sama sekali tidak menciptakan hubungan nasab. Akibat yuridis dari pengangkatan anak dalam Islam hanyalah terciptanya hubungan kasih dan sayang dan hubungan tanggung jawab sebagai sesama manusia. Karena tidak ada hubungan nasab, maka konsekuensi yuridis lainnya adalah antara orang tua angkat dengan anak angkat harus menjaga mahram, dan karena tidak ada hubungan nasab, maka keduanya dapat melangsungkan perkawinan. Rasulullah Muhammad SAW. diperintahkan untuk mengawini janda Zaid Bin Haritsah anak angkatnya, hal ini menunjukkan bahwa antara Nabi Muhammad dan Zaid Bin Haritsah tidak ada hubungan nasab, kecuali hanya hubungan kasih sayang sebagai orang tua angkat dengan anak angkatnya.[14]
a. Dasar Hukum Pengangkatan Anak di dalam Peraturan Perundang-undangan
1. Undang-Undang Dasar 1945
- Pasal 24
- Pasal 34
2. Undang–Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
- Pasal 42
- Pasal 43 Ayat 1
- Pasal 44
- Pasal 45
3. Undang–Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
- Pasal 2 Ayat 3 dan 4
- Pasal 12 Ayat 1 dan 3
4. Undang–Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
- Pasal 55
- Pasal 57
5. Undang–Undang RI Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang  Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
- Pasal 2
- Pasal 9
- Pasal 49
6. Undang–Undang RI Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
- Pasal 5 Ayat 2
- Pasal 21 Ayat 2
7. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
- Pasal 1 Angka 9
- Pasal 6
- Pasal 39 ayat 1,2,3,4 dan 5
- Pasal 40
- Pasal 41
- Pasal 42
8. Undang–Undang RI Nomor 23 Tahun 2006 Terntang Admnistrasi Kependudukan.
- Pasal 47
- Pasal 48
- Pasal 90
9. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh kembali Kewarganegaraan Indonesia.
- Pasal 24
10. Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1989 Tentang Pengangkatan Anak.
11.  Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1979 Tentang Pengangkatan Anak.
12. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979.
13. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1989 Tentang Pengangkatan Anak.
b. Tujuan Pengangkatan Anak
Tujuan pengangkatan anak selain untuk memperoleh anak,mendapatkan anak yang berjenis kelamin berbeda dengan anak yang dimiliki, menolong anak yang yatim piatu dan ada juga tujuan lain yaitu untuk mensejahterakan anak dan melindunginya dari kekerasan dan diskriminasi serta memberikan kehidupan yang layak bagi seorang anak dengan memberikan perhatian dan kasih sayang. Sejalan dengan perkembangan waktu dan masyarakat nilai dari pengangkatan anak mengalami pergeseran. Pada mulanya pengangkatan anak terutama ditujukan untuk kepentingan orang yang mengangkat anak ( adoptant ), tetapi untuk saat ini masalah pengangkatan anak ditujukan untuk kepentingan anak yang diangkat ( adoptandus ) yakni untuk kesejahteraan si anak.
Pengangkatan anak yang ditujukan untuk kesejahteraan anak tercantum dalam Undang–Undang Republik Indonesian Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang berbunyi sebagai berikut :
a. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan ( Pasal 2 ayat (3) ;
b. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar ( Pasal 2 ayat (4);
c. Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak ( Pasal 12 ayat (1);
d. Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan Peraturan Perundangundangan ( Pasal 12 ayat (3).
Undang–undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dapat disebut suatu ketentuan hukum yang menciptakan perlindungan anak sebab kebutuhan anak menjadi pokok perhatian dalam undang–undang tersebut, maka ketentuan–ketentuan hukum mengenai pengangkatan anak yang berlaku di Indonesia perlu dipahami sejauh mana akan mampu melindungi kepentingan si anak.

2.2  KONSEP PENGANGKATAN ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Sebelum Islam datang, pengangkatan anak di kalangan bangsa Arab telah menjadi tradisi turun-temurun yang dikenal dengan istilah “ tabanny ” yang artinya mengambil anak angkat. Nabi Muhammad SAW pernah melakukan pengangkatan anak sebelum masa kenabiannya. Anak angkatnya bernama Zaid bin Harisah, tetapi kemudian tidak dipanggil Zaid berdasar nama ayahnya ( Harisah ) melainkan diganti dengan panggilan Zaid bin Muhammad.
Nabi Muhammad SAW, mengumumkan di hadapan kaum Quraisy dan berkata : “ saksikanlah bahwa Zaid, aku jadikan anak angkatku, ia mewarisiku dan akupun mewarisinya “. Sikap Nabi Muhammad SAW tersebut merupakan cerminan tradisi yang ada pada waktu itu. Oleh karena Nabi menganggap sebagai anaknya, maka para sahabatpun memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad. Demikian pula pernah dilakukan sahabat Huzaifah yang telah mengangkat seorang anak bernama Salim dan hal itu mendapat persetujuan dari Nabi Muhammad SAW.
Zaid bin Harisah bin Syarahil bin Ka’b bin Abdul Uzza adalah seorang anak yang berstatus budak berasal dari Siam. Masa kecilnya hidup dan dibesarkan di Tihamah. Zaid diculik dan dibawa di Mekkah sebagai budak belian. Hakim bin Hizam bin Khuwailid membeli Zaid untuk bibinya Khadijah binti Khuwailid, selanjutnya Khadijah menyerahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Umur Zaid pada saat itu sekitar berumur 8 ( delapan ) tahun. Setelah Nabi Muhammad SAW menerima dan memerdekakannya, Zaid dijadikan anak angkatnya.
Suatu ketika keluarga Zaid yang selama itu mencarai Zaid mengetahui peristiwa tersebut, lalu ayah dan pamannya yang bernama Ka’b bin Syarahil datang ke tempat Nabi Muhammad SAW untuk menebusnya. Atas kehadiran keluarga Zaid tersebut, Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa yang demikian itu terjadi pula pada masa lalu ( sebelum Islam ). Kemudian Nabi Muhammad SAW memberikan opsi kepada Zaid untuk pergi bersama keluarganya tanpa membayar tebusan, atau tetap tinggal bersama Nabi Muhammad SAW dan menyatakan bahwa meskipun dia berstatus merdeka pergi bersama keluarganya, tetapi dia memilih tetap tinggal bersama Nabi Muhammad SAW, karena Nabi sebagai pengganti ayah dan pamannya bersikap amat baik padanya. Setelah Zaid dewasa, Nabi Muhammad SAW menikahkan Zaid dengan Zainab binti Jahsy.
Setelah Nabi Muhammad SAW menjadi Rasul, turun surat Al-Ahzab ayat 4, ayat 5. Ayat 37 dan ayat 40 yang pada intinya melarang pengangkatan anak dengan akibat hukum memanggilnya sebagai anak kandung dan saling mewarisi seperti yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW. Ulama sepakat bahwa ayat itu turun berkenaan dengan peristiwa Zaid bin Harisah. Melalui peristiwa tersebut dapat dipahami bahwa pengangkatan anak itu boleh dilakukan, karena Nabi Muhammad SAW telah mempraktekkannya, tetapi pengangkatan anak itu tidak mengubah status nasab seseorang, karena Allah SWT telah menyatakannya dalam Al-Qur’an bahwa status nasab Zaid tidak boleh dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
 Dalam peristiwa selanjutnya ternyata, rumah tangga Zaid dan Zainab mengalami ketidak harmonisan. Zain bin Harisah meminta izin kepada Nabi Muhammad SAW untuk menceraikan istrinya tetapi Nabi Muhammad SAW bersabda “ peliharalah istrimu, jangan kau ceraikan, dan bertakwalah engkau kepada Allah SWT “. Setelah Zaid tidak sanggup lagi mempertahankan rumah tangganya, maka Nabi Muhammad SAW memperkenankan perceraian mereka.
Setelah Zainab melewati masa iddah, Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk mengawini Zainab, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 37. Perkawinan Nabi Muhammad SAW dengan bekas istri anak angkatnya ini menegaskan bahwa adanya hubungan pengangkatan anak tidak serta-merta menciptakan hubungan nasab yang mengakibatkan statusnya sama dengan anak kandung, karena menikahi bekas istri anak angkat itu dibolehkan, sedangkan menikahi bekas istri anak kandung diharamkan untuk selama-lamanya. Hukum Islam melarang praktik pengangkatan anak yang mempunyai akibat hukum seperti pengangkatan anak pada masa jahiliyah, yaitu pengangkatan anak yang mengubah status anak angkat menjadi anak kandung dan terputus hubungan anak angkat dengan
orang tua kandungnya, anak angkat menjadi ahli waris, dan orang tua angkat menjadi wali mutlak terhadap anak angkat.
Hukum Islam hanya mengakui pengangkatan anak dalam pengertian beralihnya tanggung jawab untuk memberikan nafkah, mendidik, memelihara, dan lain-lain dalam konteks beribadah kepada Allah SWT.[15]
Konsep pengangkatan anak dalam hukum Islam tidak mengenal pengangkatan anak dalam arti menjadi anak kandung secara mutlak, sedang yang ada hanya diperbolehkan atau suruhan untuk memelihara dengan tujuan memperlakukan anak dalam segi kecintaan pemberian “ nafkah “, pendidikan atau pelayanan dalam segala kebutuhan yang bukan memperlakukan sebagai anak kandung ( nasab ). Dalam Islam istilah pengangkatan anak disebut juga dengan tabanny, yaitu pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri. Sebagaimana dikutip oleh Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) sebagai landasan fatwanya tentang tabanny, mengemukakan sebagai berikut[16]:
“ untuk mengetahui hukum Islam dalam masalah tabanny perlu dipahami bahwa tabanny itu ada dua bentuk, salah satu di antaranya adalah bahwa seorang mengambil anak orang lain untuk diperlakukan seperti anak kandung sendiri, dalam rangka member kasih sayang,, nafkah pendidikan dan keperluan lainnya, dan secara hukum anak itu bukan anaknya “
Pada jaman Jahiliyah seseorang mengangkat seorang anak laki-laki sebagai anaknya dengan mendapatkan hak seperti anak kandungnya. Dipanggil dengan memakai nama ayah angkatnya dan mendapatkan warisan. Islam menghramkan Tabany (pengangkatan anak ) yang diakui sebagai anak kandung, dan Islam menggugurkan segala hak yang biasa didapatkan anak angkat dari mutabanniy ( orang yang mengangkat anak ). Allah SWT berfirman dalam QS : Al- Ahzab ayat 4 yang artinya : “ Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandung-mu ( sendiri ), yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja, dan Allah SWT mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan ( yang benar )”. Berdasarkan uaraian diatas dapat dipahami bahwa ada dua bentuk pengangkatan anak ( tabanny ) yang dipahami dalam perspektif Hukum Islam yaitu[17]:
a.    Untuk pengangkatan anak ( tabanny ) yang dilarang sebagaimana tabanny yang dipraktekkan oleh masyarakat jahilliyah dan hukum perdata sekuler, yang menjadikan anak angkat sebagai anak kandung dengan segala hak-hak sebagai anak kandung, dan memutuskan hubungan hukum dengan orang tua asalnya, kemudian menisbahkan ayah kandungnya kepada ayah angkatnya.
b.   Pengangkatan anak ( tabanny ) yang dianjurkan, yaitu pengangkatan anak yang di dorong oleh motivasi beribadah kepada Allah SWT dengan menaggung nafkah sehari-hari, biaya pendidikan, pemeliharaan, dan alin-lain tanpa harus memutuskan hubungan hukum dengan orang tua kandungnya, tidak menasabkan dengan orang tua angkatnya, tidak menjadikannya sebagai anak kandung sendiri dengan segala hak-haknya.
Seseorang diharamkan menasabkan anak angkatnya pada dirinya. Islam menyuruh untuk menasabkannya kepada anak kandungnya seandainya diketahui. Jika tidak, panggilah mereka akh fid din ( saudara seagama ) atau maula ( seseorang yang telah dijadikan anak angkat ). Seperti Salim anak angkat Hudzaifah, dipanggil maula Abi Hudzaifah. Allah SWT berfirman dalam QS : Al- Ahzab ayat 5 yang artinya : “ panggilah mereka ( anak-anak angkat itu ) dengan ( memakai ) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi allah SWT dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka ( panggilah mereka ) sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi ( berdosa ) apa yang disengaja oleh hatimu “.
Islam juga melarang tawaruts ( saling mewarisi ) antara anak dan ayah angkat. Ketika Allah SWT me-naskh hukum legalisasi anak angkat maka Allah SWT membolehkan untuk menikahi istri anak angkat atau sebaliknya. Allah SWT telah menikahkan Rasullulah dengan Zainab binti Jahsy Al’ Asadiyyah bekas istri zaid bin Haritsah. Dengan tujuan wallahu a’lam supaya tidak ada keberatan bagi orang Mukmin untuk ( mengawini ) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya ( setelah talak dan habis ‘ iddahnya ), sebagaimana firman Allah SWT dalam QS : Al-Ahzab ayat 37 yang artinya “ Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya ( menceraikannya ), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk ( mengawini ) isteri-isteri anakanak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya “.
Menasabkan silsilah keturunan bapak angkat kepada anak angkat adalah  sebuah kedustaan, mencampur adukkan nasab, merubah hak-hak pewarisan yang menyebabkan memberikan warisan kepada yang tidak berhak dan menghilangkan hak waris bagi yang berhak. Menghalalkan yang haram, yaitu ber-khalwat ( berkumpulnya mahram dengan yang bukan ), dan mengharamkan yang khalal, yaitu menikah. Rasullulah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam seseorang menasabkan keturunan kepada yang bukan sebenarnya, yang artinya : “ barang siapa yang dengan sengaja mengakui ( sebagai ayah ) seorang yang bukan ayahnya sedang ia mengetahui, maka surga haram buatnya.[18]
Berdasarkan AL Qur’an Surat AL Ahzab ayat 4, ayat 5, ayat 37 dan ayat 40, dan berdasarkan Hadist Rasullulah SAW, “ barang siapa yang mendakwakan dirinya sebagai anak dari seorang bukan ayahnya, maka kepadanya ditimpa laknat dan para malaikat dan manusia seluruhnya. Dan kelak pada hari kiamat, akan tidak diterima amalan–amalannya, baik yang wajib maupun yang sunnat “ ( HR. Bukhari). Sedangkan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam praktek di Pengadilan Agama, berdasarkan Pasal 171 huruf ( h ) Kompilasi Hukum Islam yang berlaku di Indonesia, Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, menetapkan bahwa anak angkat adalah yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sendiri, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asli kepada orang tua angkat berdasarkan keputusan pengadilan.
Menurut hukum Islam anak angkat tidak berhak mewarisi harta orang tua angkatnya dan tidak putus hubungan antara anak angkat dengan orang tua kandungnya. Hubungan keharta bendaan antara anak yang diangkat dengan orang tua yang mengangkat dianjurkan dalam bentuk wasiat atau hibah, yang besarnya maksimal 1/3 ( sepertiga ) dari harta yang ada, wasiat itu wajib ( berdasarkan Surat AL Baqoroh Ayat 180 dan Surat AL Maa’idah Ayat 106 ). Pengangkatan anak dan anak angkat termasuk bagian substansi dari hukum perlindungan anak yang telah menjadi bagian dari hukum yang hidup dan berkembang dari masyarakat sesuai dengan adat istiadat dan motivasi yang berbeda– beda serta perasaan hukum yang hidup dan berkembang di masing– masing daerah, walaupun di Indonesia masalah pengangkatan anak tersebut belum diatur secara khusus dalam undang–undang tersendiri.
Dalam hukum Islam tidak ada batasan mengenai usia, baik dari sisi anak angkat maupun dari sisi orang tua angkat dan tidak ada aturan mengenai apakah calon orang tua angkat berstatus belum atau tidak kawin ( single parent adoption ), pengangkatan anak oleh calon orang tua angkat berstatus kawin, dan pengangkatan anak yang dilakukan oleh janda atau duda ( posthumus adoption ).Termasuk didalamnya adalah pengangkatan anak yang sudah dewasa ( akhir baliq ) dan sudah menikah diperbolehkan untuk diangkat. Karena dalam hal ini sepanjang tidak ada larangan dalam hukum Islam maka hukumnya adalah mubah / diperbolehkan. Islam memerintahkan bahwa antara anak angkat dengan orang tua angkat haruslah seagama yaitu Islam, hal ini berguna untuk mengantisipasi seseorang menjadi murtad.[19]
2.3  SYARAT PENGANGKATAN ANAK
Bagi orang tua angkat syarat utamanya adalah mampu dari sisi ekonomi, yang dapat menghidupi kebutuhan anak angkat tersebut, di samping syarat-syarat lainnya, yakni persyaratan melakukan perbuatan hukum pada umumnya, karena pengangkatan anak merupakan perbuatan hukum, seperti harus berakal sehat, dewasa, tidak dipaksa, bermotif positif bagi anak dan orang tua angkat.
Sedang bagi orang tua asal (kandung) anak syaratnya adalah bahwa anak yang dilepaskan kepada orang lain adalah benar-benar anaknya yang sah dan dalam melepaskannya harus dengan suka rela, bukan atas paksaan.
Syarat bagi anak yang diangkat (SEMA No. 6/1983):
1. Dalam hal calon anak angkat tersebut berada dalam asuhan suatu Yayasan Sosial harus dilampirkan surat izin tertulis Menteri Sosial bahwa Yayasan yang bersangkutan telah diizinkan bergerak di bidang kegiatan pengangkatan anak. Ini berarti bagi pengangkatan anak yang tidak diasuh dalam Yayasan Sosial tidak memerlukan surat izin dimaksud.
2.Calon anak angkat yang berada dalam asuhan Yayasan Sosial yang dimaksud di atas harus pula mempunyai izin tertulis dari Menteri Sosial atau Pejabat yang ditunjuk bahwa anak tersebut diizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat.
3.Bagi pengangkatan anak WNA oleh orang tua angkat WNI dan anak WNI oleh orang tua angkat WNA, usia anak yang diangkat harus belum mencapai umur 5 tahun; dan ada penjelasan dari Menteri Sosial/pejabat yang ditunjuk bahwa anak WNA/WNI tersebut diizinkan untuk diangkat sebagai anak angkat oleh orang tua angkat WNI/WNA yang bersangkutan
4.Pengangkatan anak antar WNI yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dengan orang tua angkat (private adoption) diperbolehkan. Begitu pula pengangkatan anak antar WNI yang dilakukan oleh seorang yang tidak terikat dalam perkawinan sah/belum menikah (single parent adoption) diperbolehkan.
5.Sedang pengangkatan anak WNA/WNI oleh orang tua angkat WNI/WNA harus dilakukan melalui Yayasan Sosial yang memiliki izin dari Menteri Sosial, sehingga pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dengan calon orang tua angkat  (private adoption) tidak diperbolehkan. Demikian juga pengangkatan anak oleh orang yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption) tidak diperbolehkan.
6. Di samping itu bagi orang tua angkat WNA harus telah berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia sekrang-kuranya 3 tahun dan harus disertai izin tertulis Menteri Sosial atau pejabat yang ditunjuk, bahwa calon orang tua angkat WNA memperoleh izin untuk mengajukan permohonan pengangkatan anak seorang warga negera Indonesia;
Syarat-syarat tersebut apabila ditinjau dari sudut hukum Islam dapat dibenarkan, karena semua itu bertujuan demi mewujudkan kesejahteraan anak atau demi menghindarkan aksi penyalahgunaan pengangkatan anak untuk kepentingan tertentu yang dapat menimbulkan kesengsaraan dan kemelaratan anak. Hal demikian sejalan dengan prinsip-prinsip hukum Islam, yakni menolak mafsadah dan meraih maslahah (daf’ul mafaasid wa jalbul mashaalih).

2.3.1       AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL DENGAN ADANYA PENGANGKATAN ANAK DALAM PERSPEKTIF  HUKUM ISLAM
Akibat yang ditimbulkan dari pengangkatan anak (adopsi) yang dilarang dan harus dihindari, antara lain:
1.     Untuk menghindari terganggunya hubungan keluarga berikut hak-haknya. Dengan pengangkatan anak berarti kedua belah pihak (anak angkat dan orang tua angkat) telah membentuk keluarga baru yang mungkin akan menganggu hak dan kewajiban keluarga yang telah ditetapkan Islam.
2.     Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman antara yang halal dan yang haram. Dengan masuknya anak angkat ke dalam salah satu keluarga tertentu, dan dijadikan sebagai anak kandung, maka ia menjadi mahram, dalam arti ia tidak boleh menikah dengan orang yang sebenarnya boleh dinikahinya. Bahkan sepertinya ada kebolehan baginya melihat aurat orang lain yang seharusnya haram dilihatnya.
3.     Masuknya anak angkat ke dalam keluarga orang tua angkatnya bisa menimbulkan permusuhan antara suatu keturunan dalam keluarga itu. Seharusnya anak angkat tidak memperoleh warisan tetapi menjadi ahli waris, sehingga menutup bagian yang seharusnya dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya.
4.     Islam, kata Wahbah Az-Zuhaili (seorang ahli Hukum Islam dari Suriah) adalah agaman keadilan dan menegakkan kebenaran. Oleh karena itu, salah satu cara untuk menegakkan keadilan dan kebenaran itu wajib menisbahkan (menghubungkan) anak kepada ayahnya yang sebenarnya. Rasulullah SAW bersabda bahwa “anak itu dihubungkan pada laki-laki yang seranjang dengan ibunya (maksudnya ayahnya), (HR. Jamaah, kecuali at-Tirmidzi). Dengan demikian anak tidak boleh dinisbahkan kepada seseorang yang sebenarnya bukan ayahnya.
5.     Jika Islam memperbolehkan lembaga pengangkatan anak, maka akan membuka peluang bagi orang mengangkat anak yang berbeda agama dengannya, yang mengakibatkan berbaurnya agama dalam suatu keluarga. Akibat hukum lain pun akan muncul, seperti larangan agama untuk saling mewarisi jika salah satu pihak beragama Islam dan pihak lain tidak. Bisa juga terjadi perpindahan agama atau pemaksaan agama tertentu secara tidak langsung kepada anak angkat. Hal ini sangat dilarang oleh Al-Qur’an[20]. Para ulama sepakat bahwa pengangkatan anak hanya dibolehkan dalam rangka saling tolong-menolong dan atas dasar rasa kemanusiaan, bukan pengangkatan anak yang dilarang oleh Islam.
Berdasarkan uraian di atas dapat kita pahami, bahwa bentuk pengangkatan anak ada dua macam menurut Syekh Mahmud Syaltut:
1)     Pengangkatan anak (tabanni) yang dilarang:
a.   sebagaimana tabanni yang dipraktikkan oleh masyarakat jahiliyah dan hukum perdata sekuler
b.   yang menjadikan anak angkat sebagai anak kandung dengan segala hak-hak sebagai anak kandung.
c.   Memutuskan hubungan hukum dengan orang tua asalnya
d.   Menisbahkan ayah kandungnya kepada ayah angkatnya
2)     Pengangkatan anak (tabanni) yang dianjurkan:
a.   Pengangkatan anak yang didorong motivasi beribadah kepada Allah SWT dengan menanggung nafkah sehari-hari, biaya pendidikan, pemeliharaan dan lain-lain tanpa harus memutuskan hubungan hukum dengan orang tua kandungnya
b.   Tidak me-nasab-kan dengan orang tua angkatnya
c.   Tidak menjadikannya sebagai anak kandung sendiri dengan segala hak-haknya.
Ahmad AL-Bari, mengatakan bahwa “Mengambil dan merawat anak yang terlantar tanpa harus memutus nasab orang tua kandungnya adalah wajib hukumnya yang menjadi tanggung jawab masyarakat secara kolektif, atau dilaksanakan oleh beberapa orang sebagai kewajiban kifayah. Tetapi hukum tersebut dapat berubah menjadi fardlu’ain apabila seseorang menemukan anak terlantar atau anak terbuang di tempat yang sangat membahayakan atas nyawa anak itu[21].
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa memungut, mengasuh, memelihara, dan mendidik anak-anak yang terlantar demi kepentingan dan kemaslahatan anak dengan tidak memutuskan masab orang tua kandungnya adalah perbuatan yang terpuji dan dianjurkan oleh ajaran Islam, bahkan dalam kondisi tertentu di mana tidak ada orang lain yang memeliharanya, maka bagi orang yang mampu secara ekonomi dan psikis yang menemukan anak terlantar tersebut hukumannya wajib untuk mengambil dan memeliharanya tanpa harus memutuskan hubungan nasab dengan orang tua kandungnya.


BAB III
PENUTUP
1.1  Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka dapatlah disimpulkan bahwa :
1.  Memungut, mengasuh, memelihara, dan mendidik anak-anak yang terlantar demi kepentingan dan kemaslahatan anak dengan tidak memutuskan nasab orang tua kandungnya adalah perbuatan yang terpuji dan dianjurkan oleh ajaran Islam, bahkan dalam kondisi tertentu di mana tidak ada orang lain yang memeliharanya, maka bagi orang yang mampu secara ekonomi dan psikis yang menemukan anak terlantar tersebut hukumannya wajib untuk mengambil dan memeliharanya tanpa harus memutuskan hubungan nasab dengan orang tua kandungnya.
2. Hukum Islam menggariskan bahwa hubungan hukum antara orang tua angkat dengan anak angkat terbatas sebagai hubungan antara orang tua asuh dengan anak asuh yang diperluas, dan sama sekali tidak menciptakan hubungan nasab. Akibat hukum dari pengangkatan anak dalam islam hanyalah terciptanya hubungnan kasih dan sayang dan hubungan tanggung jawab sebagai sesama manusia. Karena tidak ada hubungan nasab, maka konsekuensi hukum lainnya adalah antara orang tua angkat dengan anak angkat harus menjaga mahram, dan karena tidak ada hubungan nasab, maka keduanya dapat melangsungkan perkawinan.
1.2  Saran
1. Diharapkan dengan makin meningkatnya kesadaran beragama masyarakat muslim maka makin mendorong semangat untuk melakukan koreksi terhadap hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, antara lain masalah pengangkatan anak. Hasil ikhtiar ini mulai tampak dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) sebagai pedoman hukum materiil peradilan agama mengakui eksistensi lembaga pengangkatan anak dengan mengatur anak angkat dalam rumusan Pasal 171 huruf h dan Pasal 209. Peradilan Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam secara konsisten mengawal penerapan hukumnya sehingga berpengaruh positif terhadap kesadaran masyarakat yang beragama Islam untuk melakukan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.
2.  Disarankan kepada instansi pemerintah khususnya instansi-instansi pemerintah yang terkait dengan masalah pengangkatan anak yaitu Peradilan Agama, Dinas Sosial, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil agar lebih meningkatkan sumber daya manusia yang ada didalamnya untuk lebih meningkatkan sosialisasi terhadap produk peraturan perundang-undangan yang terbaru mengenai pengangkatan anak sehingga diharapkan dengan adanya sosialisasi maka akan adanya pengusaan materi mengenai pengangkatan anak dengan segala kompleksitas permasalahan yang ada didalamnya. Dengan adanya penguasaan materi mengenai pengangkatan anak maka permasalahan yang akan timbul akan dapat lebih diminimalisasi dan diberikan solusi yang cepat, terbaik dan tepat.
3. Diharapkan kepada seluruh Warga Negara Indonesia bahwa harus ada pengetahuan yang jelas dari calon orang tua angkat dan orang tua kandung yang akan diangkat orang lain, perihal perbedaan prinsip Hukum Pengangkatan Anak yang diajukan dan diputus Pengadilan Negeri, dengan pengangkatan anak yang diajukan dan diputus Pengadilan Agama. Pengetahuan dan kesadaran hukum tentang perbedaan hukum pengangkatan anak tersebut seharusnya sudah diketahui dan disadari pada saat akan mengajukan perkara permohonan, sehingga mereka dapat dengan tepat memilih pengadilan mana yang akan memberikan penetapan, yang kemudian akan berdampak pada akibat hukum yang ditimbulkan.




DAFTAR PUSTAKA

Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, 2008, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Mahjudin,2003, Nasailul Fiqhiyah, Kalam Mulia, Jakarta.
Muhyidin, Wawancara Pribadi, Pengurus Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) Provinsi Jawa Tengah, Tanggal 1 Juni 2009.
QS. Al-Baqarah (2), ayat:256
Zakaria Ahmad Al – Barry, 2004, Hukum Anak – Anak Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta.
Kamus Munjid; Lihat juga Ibrahim Anis dan Abdul Halim Muntashir (et al). Al-Mu’jam al-wasith, Mishr; Majma’ al-Lughah al-Arabiyah. 1392 H/1972 M, Cet. II, Jilid I, hal. 72
Depdikbud, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta
http://www.perspektif-hukum-islam.html




[1] Republik Indonesia,Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, Pasal 171 huruf h.
[2] Republik Indonesia, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 angka 9.
[3] Soerjono Soekanto, Tata Cara Penyusunan Karya Tulis Ilmiah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm 13.
[4] Jonathan Crowther (Ed). Oxford Advanced Leaner’s Dictionary, (Oxford University: 1996), hal. 16
[5] Simorangkir, JCT. Kamus Hukum, (Jakarta: Aksara Baru, 1987), hal. 4
[6] Kamus Munjid; Lihat juga Ibrahim Anis dan Abdul Halim Muntashir (et al). Al-Mu’jam al-wasith, Mishr; Majma’ al-Lughah al-Arabiyah. 1392 H/1972 M, Cet. II, Jilid I, hal. 72
[7] Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal. 7
[8] Muhammad Ali Al-Sayis. Tafsir Ayat al-Ahkam. (Mesir: Mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa Auladih, 1372 H/1953 M. Jilid IV, hal. 7
[9] Wahbah al-Zuhaili. Al-Fiqh al-Islami wa al-Adillatuhu,Juz.9 (Beirut: Daral-Fikr al-Ma’ashir, Cet. IV. 1997). Hal. 271.
[10] Maulah adalah yang menjadi wali hamba sahaya.
[11] QS. An-Nur/24: 32
[12] QS. An-Nisa/4: 23
[13] Pengangkatan anak dalam Islam konteksnya lebih tepat disebut anak asuh yang diperluas. Rifyal Ka’bah menyebutnya dengan istilah Hahlanah yang diperluas, Anak asuh yang diperluas, karena dalam pengangkatan anak-anak, harus melalui proses penetapan Pengadilan Agama, sedangkan pengasuhan anak tidak memerlukan suatu proses penetapan pengadilan.
[14] Mahjuddin. Masailul Fiqhiyah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), hal. 87
[15] Muhyidin, Wawancara Pribadi, Pengurus Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) Provinsi Jawa
Tengah, Tanggal 29 Mei 2009.
[16] http://www.scribd.com/doc/2953998/Kedudukan-Saudara-Kandung-Dalam-Hukum-Islam.
[17] Muhyidin, Muhyidin, Wawancara Pribadi, Pengurus Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) Provinsi Jawa Tengah, Tanggal 29 Mei 2009.
[18] Muhyidin, Wawancara Pribadi, Pengurus Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) Provinsi Jawa Tengah, Tanggal 1 Juni 2009.
[19] Muhyidin, Wawancara Pribadi, Pengurus Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) Provinsi Jawa Tengah, Tanggal 29 Mei 2009.
[20] QS. Al-Baqarah (2), ayat:256
[21] Zakariah Ahmad Al-Bari. Ahkam al-Aulad  fi al-Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal. 35