PENGANGKATAN ANAK
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
MAKALAH
Diajukan
guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menghadapi
Ujian Akhir Semester Gasal dan mencapai nilai yang maksimal
Oleh
Restu Dhika Listya Pawitri
(120710101366)
MATA KULIAH
BAHASA INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS
JEMBER
2012
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Allah SWT atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya yang telah diberikan kepada kami sehingga kami berhasil
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu yang berjudul
“PENGANGKATAN ANAK dalam PERSPEKTIF HUKUM ISLAM”
Oleh karena itu dengan mempelajari dan mengerti akan hal-hal yang berisikan tentang konsep pengangkatan anak dalam
prespektif hukum Islam, syarat-syarat pengangkatan anak serta akibat hukum yang
timbul dari pengangkatan anak.
Diharapkan
makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua khususnya sebagai
mahasiswa Fakultas Hukum agar dapat mengetahui tentang pengangkatan anak dalam
perspektif Hukum Islam. Tugas pembuatan makalah Bahasa Indonesia ini sangat menambah wawasan bagi kami semua. Tugas ini
dikerjakan secara berkelompok ( 10 orang ). Dan banyak pihak yang telah
memberikan saran, pengetahuan dan pikirannya yang sangat membantu kami
khususnya kepada Dra. Tutik Patmiati selaku dosen pembimbing mata kuliah Bahasa
Indonesia. Untuk itu dengan
rasa syukur dan hormat setinggi-tingginya, kami mengucapkan ribuan terima
kasih.
Dalam penyusunan
tugas ini kami menyadari bahwa hasilnya masih jauh dari sempurna dan tidak
terlepas dari kesalahan, hal ini dapat kami rasakan
sebagai akibat
pengetahuan yang sangat masih terbatas, oleh karena itu kami mengharapkan
nasehat, saran dan kritik dari semua pihak.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya
kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingannya, Amin……
Jember,
10 Desember 2012
Penyusun
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL
KATA
PENGANTAR ..................................................................... ......... i
DAFTAR
ISI .................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang ...................................................... 1
1.2 Rumusan
Masalah ................................................. 3
1.3 Tujuan
dan Manfaat .............................................. 3
1.4 Landasan
Teori ..................................................... 4
BAB
II PEMBAHASAN
2.1 Tinjauan Umum Mengenai Pengangkatan
Anak
2.1.1 Pengertian Anak Angkat ............................ 6
2.1.2 Pengertian Pengangkatan Anak
.................. 7
2.1.3
Hukum Pengangkatan Anak .................... 8
2.2
Konsep Pengangkatan Anak Dalam
Perspektif
Hukum Islam .................................... 13
2.3 Syarat
Pengangkatan Anak .............................. 19
2.4 Akibat Hukum Yang Timbul Dengan
Adanya
Pengangkatan Anak Dalam Perspektif
Hukum
Islam ..................................................... 20
BAB
III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ........................................................ ...... iii
3.2 Saran ................................................................. ...... iv
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam
adalah agama yang universal diturunkan dimuka bumi sebagai rahmatan lilalami
yang mengatur segenap tatanan hidup manusia dan sebagai rahmat bagi seluruh
alam. Sistem dan konsep yang dibawa Islam sesungguhnya padat nilai dan
memberikan manfaat yang luar biasa kepada umat manusia. Konsepnya tidak hanya
berguna pada masyarakat muslim tetapi dapat dinikmati oleh siapapun. Sistem
Islam ini tidak mengenal batas, ruang dan waktu, tetapi selalu baik kapan dan
dimana saja tanpa menghilangkan faktor–faktor kekhususan masyarakat. Semakin
utuh konsep itu diaplikasikan, semakin besar manfaat yang diraih.
Islam
tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur
mencakup seluruh aspek kehidupan baik politik, hukum, sosial dan budaya, serta
masalah pengangkatan anak. Orang Islam dapat mengaurangi kehidupan dan
memecahkan setiap problem dalam kehidupan.
Anak
merupakan amanah sekaligus karunia Allah SWT, bahkan anak dianggap sebagai
harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda lainnya.
Anak sebagai amanah Allah harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam
diri anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus
dijunjung tinggi yaitu Hak Asasi Anak. Di lihat dari sisi kehidupan berbangsa
dan bernegara, anak adalah pewaris dan potret masa depan bangsa di masa datang,
generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas
perlindungan dari tindak kekerasan dan deskriminasi serta hak sipil dan
kebebasan.
Dalam
kesempatan ini kami ingin mengemukakan tentang salah satu persoalan kebutuhan
manusia, yakni khusus aspek pengangkatan anak dan beberapa cara pengangkatan anak. Karena
pengangkatan anak dan anak angkat termasuk bagian substansi dari hukum
perlindungan anak yang telah menjadi bagian dari hukum yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat sesuai dengan adat-istiadat dan motivasi yang
berbeda-beda serta perasaan hukum yang hidup dan berkembang di masing-masing
daerah, walaupun di Indonesia masalah pengangkatan anak tersebut belum diatur
secara khusus dalam undang-undang.
Dalam hukum
Islam tidak mengenal pengangkatan anak dalam arti menjadi anak kandung secara
mutlak, sedang yang ada hanya di perbolehkan atau suruhan untuk memelihara
dengan tujuan memperlakukan anak dalam segi kecintaan pemberian “nafkah,
pendidikan atau pelayanan dalam segala kebutuhan yang bukan memperlakukan
sebagai anak kandung (nasab).
Sedangkan penetapan pengangkatan anak
berdasarkan hukum Islam praktek pengadilan agama, berdasarkan pasal 171 huruf
(h) Kompilasi Hukum Islam yang berlaku di Indonesia Inpres No I Tahun 1991 tanggal
10 Juni 1991, menetapkan bahwa “Anak angkat adalah anak yang dalam hal
pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya
beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya
berdasarkan putusan pengadilan.”[1]
Definisi
anak angkat dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut, jika dibandingkan dengan
definisi anak angkat dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
memiliki kesamaan substansi. Pasal 1 angka 9 dinyatakan bahwa “Anak Angkat
adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua,
wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan,pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.[2]”
1.2 Rumusan Masalah
Dalam
rangka memperoleh hasil penulisan yang baik dan memenuhi syarat penulisan karya
ilmiah serta untuk mempermudah pengumpulan data dan pembahasannya, maka dalam
makalah ini diperlukan adanya perumusan masalah.
Perumusan
masalah dalam suatu karangan ilmiah merupakan hal yang penting agar masalah
yang dibahas tidak menyimpang dari tujuan permasalahan yang akan dibuat
penulisan, demikian pula data sampel yang dicari dapat diperoleh dalam
penelitian sesuai dengan tujuan penelitian.[3]
Sesuai
dengan latar belakang masalah di atas,
maka penulis merumuskan masalah-masalah
yang akan diteliti adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
konsep pengangkatan anak dalam prespektif hukum Islam?
2. Apa
syarat dari pengangkatan anak?
3. Apa
akibat hukum yang timbul dengan adanya pengangkatan anak dalam perspektif hukum
Islam?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Suatu
kegiatan penelitian sudah tentu mempunyai suatu tujuan yang jelas dan pasti.
Adapun tujuan ini diperlukan adalah untuk memberi petunjuk tuntunan atau arahan
dalam melangkah sesuai dengan maksud dari penelitian.
Dalam
penelitian ini tujuan yang hendak dicapai adalah sebagai berikut:
1. Untuk
memahami konsep pengangkatan anak dalam perspektif hukum Islam.
2. Untuk
memahami syarat-syarat hukum apa saja dalam
pengangkatan anak.
3. Untuk
memahami akibat hukum apa yang timbul dengan adanya pengangkatan anak dalam
perspektif hukum Islam.
Selain
tujuan penelitian tersebut diatas, penulis berharap dari penulisan ini dapat
mencapai manfaat sebagai berikut :
1.
Manfaat Teoritis
Kejelasan yang dapat menimbulkan kemampuan untuk
menyusun kerangka teoritis dalam penelitian hukum dan bagaimana suatu teori
dapat dioperasionalkan di dalam penelitian ini, maka penelitian ini di harapkan
dapat bermanfaat untuk:
a.
Dapat memberikan sumbangan dan masukan
pemikiran di bidang ilmu pengetahuan hukum khususnya hukum perdata dan hukum
Islam.
b.
Sebagai bahan masukan dan referensi bagi
penelitian selanjutnya.
2. Manfaat
Praktis
Berdasarkan
penulisan makalah ini diharapkan akan memperoleh pemahaman yang jelas mengenai
Konsep pengangkatan Anak dalam Perspektif Hukum Islam, serta dapat digunakan
untuk masukan dan evaluasi pelaksanaan penelitian yang telah dilaksanakan
selama ini.
1.4 Landasan Teori
Dalam
penelitian ini peneliti melakukan penulusuran bahan-bahan pustaka, menetapkan
konsep-konsep dasar dan teori-teori yang dianggap relevan untuk menjawab
permasalahan dan tujuan penelitian yang telah diuraikan di atas.
Anak
adalah amanat Tuhan yang harus senantiasa dipelihara.apapun statusnya, pada
dirinya melekat harkat,martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus
dijunjung tinggi. Namun, pada kenyataanya betapa banyak anak yang terlantar,
tidak mendapatkan pendidikan karena tidak mampu, bahkan menjadi korban tindak kekerasan.
Hidupnya tidak menentu,masa depan tidak jelas, dan rentan terhadap berbagai
upaya eksploitasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Untuk
mengatasi hal ini, banyak upaya dilakukan. Salah satunya adalah mengangkat
anak. Langkah ini sesuai dengan ajaran Islam yang menekankan saling tolong
dalam kebaikan dan memelihara anak yatim. Tidak terkecuali di Indonesia yang
berpenduduk mayoritas muslim, yang menentang keras dan memberikan kritik
mendasar terhadap konsepsi hukum pengangkatan anak versi barat. Mereka memandang
sama kedudukan hukum dan hak antara anak angkat dengan anak kandung, baik hak
waris,hak perwalian,hak hubungan nasab,karena pengangkatan anak menyebabkan
putusnya hubungan nasab dengan orang tua kandung, dan sepenuhnya masuk sebagai anak
kandung orang tua angkat. Umat Islam Indonesia dalam melakukan perbuatan hukum
pengangkatan anak, telah lama terjerumus dalam lingkaran sistem hukum Jahiliyah
yang menyesatkan tersebut . Fenomena ini tentu memerlukan perangkat hukum yang terkait
dengan pengangkatan anak.
Sejak
disahkan, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 memberikan jawaban. Pengadilan Agama
telah diberi kewenangan untuk menangani perkara permohonan pengangkatan anak berdasarkan
hukum Islam. Hal ini merupakan pemantapan hukum sosiologis yang selama ini
menguat di kalangan masayarakat umum Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 TINJAUAN
UMUM MENGENAI PENGANGKATAN ANAK
2.1.1 PENGERTIAN ANAK ANGKAT
Sebelum membahas
masalah hukum pengangkatan anak, terlebih dahulu diuraikan secara singkat
tentang defenisi anak angkat. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan
gambaran dalam pembasan selanjutnya.
Dari berbagai definisi
yang diberikan oleh para ahli, ada dua corak pengertian anak angkat sebagaimana
disampaikan oleh Mahmud Syaltut yang dikutif Andi Syamsul Alam
bahwa ada dua pengertian anak angkat. Pertama, mengambil
anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih
sayang, tanpa diberikan status anak kandung kepadanya sesuai dengan surat dan
Al-Maidah; 3 untuk saling tolong menolong dalam kebaikan. Kedua,
mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan dia diberi status sebagai
anak kandung sehingga hak dan kewajibannya sama seperti anak kandung dan
dinasabkan kepada orang tua angkatnya. Adopsi yang seperti ini yang dilarang
oleh hukum islam karena mengubah nasabnya kepada ayah angkatnya dan itu
bertentangan dengan al-Qur’an surat Al-Ahzab: 4 -5.
Persamaan dari dua
jenis defenisi tersebut adalah dari aspek perlindungan dan kepentingan anak
seperti pemeliharaan, pengasuhan, kasih sayang, pendidikan, masa depan dan
kesejahteraan anak. Titik perbedaannya terletak pada penentuan nasab dengan
segala akibat hukumnya. Anak angkat yang tidak dinasabkan kepada orang tua
angkatnya tidak berhak waris mewarisi, menjadi wali dan lain sebagainya. Sedang
anak angkat yang dinasabkan dengan orang tua angkatnya berhak saling mewarisi,
menjadi wali, dan hak-hak lain yang dipersamakan dengan anak kandung.
Definisi dalam UUPA tentang Anak
angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga
orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan
(Pasal 1 angka 9).
Prinsipnya
adalah bahwa setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali
jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu
adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
(pasal 14) pengangkatan anak diatur dalam Pasal 39 – 41 UUPA
2.1.2
PENGERTIAN
PENGANGKATAN ANAK
Istilah “Pengangkatan
Anak” berkembang di Indonesia sebagai terjemahan dari bahasa Inggris “adoption”, mengangkat seorang anak[4],
yang berarti “mengangkat anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri
dan mempunyai hak yang sama dengan anak kandung”[5].
Pada saat Islam disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, pengangkatan anak telah
menjadi tradisi di kalangan mayoritas masyarakat Arab yang dikenal dengan
istilah tabanni yang berarti
“mengambil anak angkat”.
Secara etimologis kata tabanni berarti “mengambil anak”[6] . sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia istilah pengangkatan anak disebut juga dengan istilah “Adopsi” yang berarti “Pengambilan
(pengangkatan) anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri”.[7]
Istilah “Tabanni” yang berarti
seseorang mengangkat anak orang lain sebagai anak, dan berlakulah terhadap anak
tersebut seluruh ketentuan hukum yang berlaku atas anak kandung orang tua
angkat,[8]
pengertian demikian memiliki pengertian yang identik dengan istilah “Adopsi”.
Secara terminologis
tabanni menurut Wahbah al-Zuhaili adalah pengangkatan anak (tabanni)
“Pengambilan anak yang dilakukan oleh seseorang terhadap anak yang jelas
nasab-nya, kemudian anak itu di nasab-kan kepada dirinya”[9].
Dalam pengertian lain, tabanni adalah
seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang dengan sengaja me-nasab-kan
seorang anak kepada dirinya padahal anak tersebut sudah punya nasab yang jelas
pada orang tua kandungnya. Pengangkatan anak dalam pengertian demikian jelas
bertentangan dengan Hukum Islam,maka unsur me-nasab-kan seorang anak kepada
orang lain yang bukan nasab-nya harus dibatalkan.
Pengangkatan anak
(adopsi, tabanni), yaitu suatu
pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri. Anak yang di adopsi disebut
“anak angkat”, peristiwa hukumnya disebut “Pengangkatan Anak” dan istilah
terakhir inilah yang kemudian dalam pembahasan selanjutnya akan digunakan untuk
mewakili istilah adopsi. Pengangkatan anak dapat dijumpai dalam lapangan hukum
keperdataan, khususnya dalam lapangan hukum keluarga.
2.1.3
HUKUM
PENGANGKATAN ANAK
Para ulama fikih
sepakat menyatakan bahwa Hukum Islam tidak mengakui lembaga pengangkatan anak
yang mempunyai akibat hukum seperti yang pernah dipraktikan masyarakat
jahiliyah; dalam arti terlepasnya ia dari hukum kekerabatan orang tua
kandungnya dan masuknya ia ke dalam hukum kekerabatan orang tua angkatnya.
Hukum Islam hanya mengakui bahkan menganjurkan, pengangkatan anak dalam arti
pemungutan dan pemeliharaan anak; dalam artian status kekerabatannya tetap
berada di luar lingkungan keluarga orang tua angkatnya dan dengan sendirinya
tidak mempunyai akibat hukum apa-apa. Ia tetap anak dan kerabat orang tua
kandungnya, berikut dengan segala akibat hukumnya.
Larangan pengangkatan
anak dalam arti benar-benar dijadikan anak kandung berdasarkan firman Allah
SWT.dalam Surat al-Ahzab (33) ayat 4-5 yang artinya “...Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu
(sendiri), yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah
mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah
yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan
maula-maula-maula-mu...”[10]
Apabila ada anak-anak
yang ditinggal mati ayahnya karena peperangan atau bencana lain misalnya,
seperti peperangan yang terjadi pada masa awal-awal Islam, maka agama Islam
memberikan jalan keluar yang lain dari pengangkatan anak tersebut. Umpamanya
dengan jalan menikahkan para janda yang ditinggal mati suaminya itu dengan
laki-laki lain.[11]
Dengan demikian anak-anak janda tersebut tidak lagi menjadi terlantar. Status
anak tersebut bukan anak angkat tetapi anak tiri. Kalau anak tiri tersebut
perempuan, maka anak tiri itu menjadi mahramnya, dalam arti sudah haram kawin
dengannya kalau sudah ba’da dukhul dengan
ibu anak tirinya itu.[12]
Para ulama fikih
sepakat menyatakan bahwa Hukum Islam melarang praktik pengangkatan anak yang
memiliki implikasi yuridis seperti pengangkatan anak yang dikenal oleh hukum
Barat/hukum sekuler dan praktik masyarakat jahiliyah; yaitu pengangkatan anak
yang menjadikan anak angkat menjadi anak kandung, anak angkat terputus hubungan
hukum dengan orang tua kandungnya, anak angkat memiliki hak waris sama dengan
hak waris anak kandung, orang tua angkat menjadi wali mutlak terhadap anak
angkat. Hukum Islam hanya mengakui
pengangkatan anak dalam pengertian beralihnya kewajiban untuk memberikan nafkah
sehari-hari, mendidik, memelihara, dan lain-lain, dalam konteks beribadah
kepada Allah SWT.
Hukum
Islam telah menggariskan bahwa hubungan hukum antara orang tua angkat dengan
anak angkat terbatas sebagai hubungan antara orang tua asuh dengan anak asuh
yang diperluas,[13]
dan sama sekali tidak menciptakan hubungan nasab.
Akibat yuridis dari pengangkatan anak dalam Islam hanyalah terciptanya hubungan
kasih dan sayang dan hubungan tanggung jawab sebagai sesama manusia. Karena
tidak ada hubungan nasab, maka
konsekuensi yuridis lainnya adalah antara orang tua angkat dengan anak angkat
harus menjaga mahram, dan karena tidak ada hubungan nasab, maka keduanya dapat melangsungkan perkawinan. Rasulullah
Muhammad SAW. diperintahkan untuk mengawini janda Zaid Bin Haritsah anak
angkatnya, hal ini menunjukkan bahwa antara Nabi Muhammad dan Zaid Bin Haritsah
tidak ada hubungan nasab, kecuali
hanya hubungan kasih sayang sebagai orang tua angkat dengan anak angkatnya.[14]
a. Dasar Hukum Pengangkatan Anak di
dalam Peraturan Perundang-undangan
1. Undang-Undang Dasar 1945
-
Pasal 24
- Pasal 34
2. Undang–Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
- Pasal 42
- Pasal 43 Ayat 1
- Pasal 44
- Pasal 45
3. Undang–Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak.
- Pasal 2 Ayat 3 dan 4
- Pasal 12 Ayat 1 dan 3
4. Undang–Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia.
- Pasal 55
- Pasal 57
5.
Undang–Undang RI Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama.
- Pasal 2
- Pasal 9
- Pasal 49
6.
Undang–Undang RI Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia.
- Pasal 5 Ayat 2
- Pasal 21 Ayat 2
7. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak.
- Pasal 1 Angka 9
- Pasal 6
- Pasal 39 ayat 1,2,3,4 dan 5
- Pasal 40
- Pasal 41
- Pasal 42
8.
Undang–Undang RI Nomor 23 Tahun 2006 Terntang Admnistrasi Kependudukan.
- Pasal 47
- Pasal 48
- Pasal 90
9.
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Memperoleh,
Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh kembali Kewarganegaraan Indonesia.
- Pasal 24
10.
Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1989 Tentang
Pengangkatan Anak.
11. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 1979 Tentang Pengangkatan Anak.
12.
Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang
Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979.
13.
Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1989 Tentang
Pengangkatan Anak.
b. Tujuan Pengangkatan Anak
Tujuan pengangkatan anak selain untuk memperoleh
anak,mendapatkan anak yang berjenis kelamin berbeda dengan anak yang dimiliki,
menolong anak yang yatim piatu dan ada juga tujuan lain yaitu untuk
mensejahterakan anak dan melindunginya dari kekerasan dan diskriminasi serta
memberikan kehidupan yang layak bagi seorang anak dengan memberikan perhatian
dan kasih sayang. Sejalan dengan perkembangan waktu dan masyarakat nilai dari pengangkatan
anak mengalami pergeseran. Pada mulanya pengangkatan anak terutama ditujukan
untuk kepentingan orang yang mengangkat anak ( adoptant ), tetapi untuk
saat ini masalah pengangkatan anak ditujukan untuk kepentingan anak yang
diangkat ( adoptandus ) yakni untuk kesejahteraan si anak.
Pengangkatan anak yang ditujukan untuk kesejahteraan
anak tercantum dalam Undang–Undang Republik Indonesian Nomor 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak, yang berbunyi sebagai berikut :
a.
Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan
maupun sesudah dilahirkan ( Pasal 2 ayat (3) ;
b.
Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan
atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar ( Pasal 2 ayat
(4);
c.
Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan
kepentingan kesejahteraan anak ( Pasal 12 ayat (1);
d.
Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan di luar
adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan Peraturan Perundangundangan (
Pasal 12 ayat (3).
Undang–undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak dapat disebut suatu ketentuan hukum yang menciptakan
perlindungan anak sebab kebutuhan anak menjadi pokok perhatian dalam undang–undang
tersebut, maka ketentuan–ketentuan hukum mengenai pengangkatan anak yang berlaku
di Indonesia perlu dipahami sejauh mana akan mampu melindungi kepentingan si
anak.
2.2 KONSEP
PENGANGKATAN ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Sebelum Islam datang, pengangkatan anak di kalangan bangsa
Arab telah menjadi tradisi turun-temurun yang dikenal dengan istilah “ tabanny
” yang artinya mengambil anak angkat. Nabi Muhammad SAW pernah melakukan
pengangkatan anak sebelum masa kenabiannya. Anak angkatnya bernama Zaid bin Harisah,
tetapi kemudian tidak dipanggil Zaid berdasar nama ayahnya ( Harisah )
melainkan diganti dengan panggilan Zaid bin Muhammad.
Nabi Muhammad SAW, mengumumkan di hadapan kaum Quraisy
dan berkata : “ saksikanlah bahwa Zaid, aku jadikan anak angkatku, ia mewarisiku
dan akupun mewarisinya “. Sikap Nabi Muhammad SAW tersebut merupakan cerminan
tradisi yang ada pada waktu itu. Oleh karena Nabi menganggap sebagai anaknya,
maka para sahabatpun memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad. Demikian pula pernah
dilakukan sahabat Huzaifah yang telah mengangkat seorang anak bernama Salim dan
hal itu mendapat persetujuan dari Nabi Muhammad SAW.
Zaid bin Harisah bin Syarahil bin Ka’b bin Abdul
Uzza adalah seorang anak yang berstatus budak berasal dari Siam. Masa kecilnya
hidup dan dibesarkan di Tihamah. Zaid diculik dan dibawa di Mekkah sebagai
budak belian. Hakim bin Hizam bin Khuwailid membeli Zaid untuk bibinya Khadijah
binti Khuwailid, selanjutnya Khadijah menyerahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Umur Zaid pada saat itu sekitar berumur 8 ( delapan ) tahun. Setelah Nabi
Muhammad SAW menerima dan memerdekakannya, Zaid dijadikan anak angkatnya.
Suatu ketika keluarga Zaid yang selama itu mencarai
Zaid mengetahui peristiwa tersebut, lalu ayah dan pamannya yang bernama Ka’b
bin Syarahil datang ke tempat Nabi Muhammad SAW untuk menebusnya. Atas
kehadiran keluarga Zaid tersebut, Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa yang
demikian itu terjadi pula pada masa lalu ( sebelum Islam ). Kemudian Nabi
Muhammad SAW memberikan opsi kepada Zaid untuk pergi bersama keluarganya tanpa
membayar tebusan, atau tetap tinggal bersama Nabi Muhammad SAW dan menyatakan
bahwa meskipun dia berstatus merdeka pergi bersama keluarganya, tetapi dia
memilih tetap tinggal bersama Nabi Muhammad SAW, karena Nabi sebagai pengganti
ayah dan pamannya bersikap amat baik padanya. Setelah Zaid dewasa, Nabi
Muhammad SAW menikahkan Zaid dengan Zainab binti Jahsy.
Setelah Nabi Muhammad SAW menjadi Rasul,
turun surat Al-Ahzab ayat 4, ayat 5. Ayat 37 dan ayat 40 yang pada intinya melarang
pengangkatan anak dengan akibat hukum memanggilnya sebagai anak kandung dan
saling mewarisi seperti yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW. Ulama sepakat
bahwa ayat itu turun berkenaan dengan peristiwa Zaid bin Harisah. Melalui
peristiwa tersebut dapat dipahami bahwa pengangkatan anak itu boleh dilakukan,
karena Nabi Muhammad SAW telah mempraktekkannya, tetapi pengangkatan anak itu
tidak mengubah status nasab seseorang, karena Allah SWT telah menyatakannya
dalam Al-Qur’an bahwa status nasab Zaid tidak boleh dinisbahkan kepada Nabi
Muhammad SAW.
Dalam
peristiwa selanjutnya ternyata, rumah tangga Zaid dan Zainab mengalami ketidak
harmonisan. Zain bin Harisah meminta izin kepada Nabi Muhammad SAW untuk
menceraikan istrinya tetapi Nabi Muhammad SAW bersabda “ peliharalah istrimu,
jangan kau ceraikan, dan bertakwalah engkau kepada Allah SWT “. Setelah Zaid tidak
sanggup lagi mempertahankan rumah tangganya, maka Nabi Muhammad SAW
memperkenankan perceraian mereka.
Setelah Zainab melewati masa iddah,
Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk mengawini Zainab, sebagaimana
firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 37. Perkawinan Nabi Muhammad
SAW dengan bekas istri anak angkatnya ini menegaskan bahwa adanya hubungan
pengangkatan anak tidak serta-merta menciptakan hubungan nasab yang mengakibatkan
statusnya sama dengan anak kandung, karena menikahi bekas istri anak angkat itu
dibolehkan, sedangkan menikahi bekas istri anak kandung diharamkan untuk
selama-lamanya. Hukum Islam melarang praktik pengangkatan anak yang mempunyai
akibat hukum seperti pengangkatan anak pada masa jahiliyah, yaitu
pengangkatan anak yang mengubah status anak angkat menjadi anak kandung dan
terputus hubungan anak angkat dengan
orang tua kandungnya, anak angkat menjadi
ahli waris, dan orang tua angkat menjadi wali mutlak terhadap anak angkat.
Hukum Islam hanya
mengakui pengangkatan anak dalam pengertian beralihnya tanggung jawab untuk
memberikan nafkah, mendidik, memelihara, dan lain-lain dalam konteks beribadah
kepada Allah SWT.[15]
Konsep pengangkatan anak dalam hukum Islam tidak
mengenal pengangkatan anak dalam arti menjadi anak kandung secara mutlak,
sedang yang ada hanya diperbolehkan atau suruhan untuk memelihara dengan tujuan
memperlakukan anak dalam segi kecintaan pemberian “ nafkah “, pendidikan atau
pelayanan dalam segala kebutuhan yang bukan memperlakukan sebagai anak kandung
( nasab ). Dalam Islam istilah pengangkatan anak disebut juga dengan tabanny,
yaitu pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri. Sebagaimana dikutip
oleh Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) sebagai landasan fatwanya tentang tabanny,
mengemukakan sebagai berikut[16]:
“ untuk mengetahui
hukum Islam dalam masalah tabanny perlu dipahami bahwa tabanny itu ada
dua bentuk, salah satu di antaranya adalah bahwa seorang mengambil anak
orang lain untuk diperlakukan seperti anak kandung sendiri, dalam
rangka member kasih sayang,, nafkah pendidikan dan keperluan lainnya, dan
secara hukum anak itu bukan anaknya “
Pada jaman Jahiliyah seseorang mengangkat
seorang anak laki-laki sebagai anaknya dengan mendapatkan hak seperti anak
kandungnya. Dipanggil dengan memakai nama ayah angkatnya dan mendapatkan
warisan. Islam menghramkan Tabany (pengangkatan anak ) yang diakui sebagai anak
kandung, dan Islam menggugurkan segala hak yang biasa didapatkan anak angkat
dari mutabanniy ( orang yang mengangkat anak ). Allah SWT berfirman
dalam QS : Al- Ahzab ayat 4 yang artinya : “ Allah tidak menjadikan anak-anak
angkatmu sebagai anak kandung-mu ( sendiri ), yang demikian itu hanyalah perkataan
di mulutmu saja, dan Allah SWT mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan
jalan ( yang benar )”. Berdasarkan uaraian diatas dapat dipahami bahwa ada dua
bentuk pengangkatan anak ( tabanny ) yang dipahami dalam perspektif
Hukum Islam yaitu[17]:
a. Untuk
pengangkatan anak ( tabanny ) yang dilarang sebagaimana tabanny yang
dipraktekkan oleh masyarakat jahilliyah dan hukum perdata sekuler, yang menjadikan
anak angkat sebagai anak kandung dengan segala hak-hak sebagai anak kandung,
dan memutuskan hubungan hukum dengan orang tua asalnya, kemudian menisbahkan
ayah kandungnya kepada ayah angkatnya.
b. Pengangkatan
anak ( tabanny ) yang dianjurkan, yaitu pengangkatan anak yang di dorong
oleh motivasi beribadah kepada Allah SWT dengan menaggung nafkah sehari-hari,
biaya pendidikan, pemeliharaan, dan alin-lain tanpa harus memutuskan hubungan
hukum dengan orang tua kandungnya, tidak menasabkan dengan orang tua angkatnya,
tidak menjadikannya sebagai anak kandung sendiri dengan segala hak-haknya.
Seseorang diharamkan menasabkan anak angkatnya pada
dirinya. Islam menyuruh untuk menasabkannya kepada anak kandungnya seandainya
diketahui. Jika tidak, panggilah mereka akh fid din ( saudara
seagama ) atau maula ( seseorang yang telah dijadikan anak angkat ).
Seperti Salim anak angkat Hudzaifah, dipanggil maula Abi Hudzaifah. Allah SWT
berfirman dalam QS : Al- Ahzab ayat 5 yang artinya : “ panggilah mereka (
anak-anak angkat itu ) dengan ( memakai ) nama bapak-bapak mereka, itulah yang
lebih adil pada sisi allah SWT dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
mereka, maka ( panggilah mereka ) sebagai saudara-saudaramu seagama dan
maula-maulamu dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya,
tetapi ( berdosa ) apa yang disengaja oleh hatimu “.
Islam juga melarang tawaruts ( saling
mewarisi ) antara anak dan ayah angkat. Ketika Allah SWT me-naskh hukum
legalisasi anak angkat maka Allah SWT membolehkan untuk menikahi istri anak
angkat atau sebaliknya. Allah SWT telah menikahkan Rasullulah dengan Zainab
binti Jahsy Al’ Asadiyyah bekas istri zaid bin Haritsah. Dengan tujuan wallahu
a’lam supaya tidak ada keberatan bagi orang Mukmin untuk ( mengawini )
istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah
menyelesaikan keperluannya daripada isterinya ( setelah talak dan habis ‘
iddahnya ), sebagaimana firman Allah SWT dalam QS : Al-Ahzab ayat 37 yang
artinya “ Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (
menceraikannya ), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi
orang mu’min untuk ( mengawini ) isteri-isteri anakanak angkat mereka,
apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada
isterinya “.
Menasabkan silsilah keturunan bapak angkat kepada
anak angkat adalah sebuah kedustaan,
mencampur adukkan nasab, merubah hak-hak pewarisan yang menyebabkan memberikan
warisan kepada yang tidak berhak dan menghilangkan hak waris bagi yang berhak.
Menghalalkan yang haram, yaitu ber-khalwat ( berkumpulnya mahram dengan yang
bukan ), dan mengharamkan yang khalal, yaitu menikah. Rasullulah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengancam seseorang menasabkan keturunan kepada yang
bukan sebenarnya, yang artinya : “
barang siapa yang dengan sengaja mengakui ( sebagai ayah ) seorang yang bukan
ayahnya sedang ia mengetahui, maka surga haram buatnya.[18]
Berdasarkan AL Qur’an Surat AL Ahzab ayat 4, ayat 5,
ayat 37 dan ayat 40, dan berdasarkan Hadist Rasullulah SAW, “ barang
siapa yang mendakwakan dirinya sebagai anak dari seorang bukan ayahnya, maka
kepadanya ditimpa laknat dan para malaikat dan manusia seluruhnya. Dan kelak
pada hari kiamat, akan tidak diterima amalan–amalannya, baik yang wajib maupun
yang sunnat “ ( HR. Bukhari). Sedangkan penetapan pengangkatan anak berdasarkan
hukum Islam praktek di Pengadilan Agama, berdasarkan Pasal 171 huruf ( h )
Kompilasi Hukum Islam yang berlaku di Indonesia, Inpres Nomor 1 Tahun 1991
tanggal 10 Juni 1991, menetapkan bahwa anak angkat adalah yang dalam
pemeliharaan untuk hidupnya sendiri, biaya pendidikan dan sebagainya beralih
tanggung jawabnya dari orang tua asli kepada orang tua angkat berdasarkan
keputusan pengadilan.
Menurut hukum Islam anak angkat tidak berhak
mewarisi harta orang tua angkatnya dan tidak putus hubungan antara anak angkat
dengan orang tua kandungnya. Hubungan keharta bendaan antara anak yang diangkat
dengan orang tua yang mengangkat dianjurkan dalam bentuk wasiat atau hibah,
yang besarnya maksimal 1/3 ( sepertiga ) dari harta yang ada, wasiat itu wajib
( berdasarkan Surat AL Baqoroh Ayat 180 dan Surat AL Maa’idah Ayat 106 ). Pengangkatan
anak dan anak angkat termasuk bagian substansi dari hukum perlindungan anak
yang telah menjadi bagian dari hukum yang hidup dan berkembang dari masyarakat
sesuai dengan adat istiadat dan motivasi yang berbeda– beda serta perasaan
hukum yang hidup dan berkembang di masing– masing daerah, walaupun di Indonesia
masalah pengangkatan anak tersebut belum diatur secara khusus dalam
undang–undang tersendiri.
Dalam hukum Islam tidak ada batasan mengenai usia,
baik dari sisi anak angkat maupun dari sisi orang tua angkat dan tidak ada aturan
mengenai apakah calon orang tua angkat berstatus belum atau tidak kawin ( single
parent adoption ), pengangkatan anak oleh calon orang tua angkat berstatus
kawin, dan pengangkatan anak yang dilakukan oleh janda atau duda ( posthumus
adoption ).Termasuk didalamnya adalah pengangkatan anak yang sudah dewasa (
akhir baliq ) dan sudah menikah diperbolehkan untuk diangkat. Karena dalam
hal ini sepanjang tidak ada larangan dalam hukum Islam maka hukumnya adalah
mubah / diperbolehkan. Islam memerintahkan bahwa antara anak angkat dengan
orang tua angkat haruslah seagama yaitu Islam, hal ini berguna untuk
mengantisipasi seseorang menjadi murtad.[19]
2.3 SYARAT PENGANGKATAN ANAK
Bagi orang tua angkat syarat utamanya
adalah mampu dari sisi ekonomi, yang dapat menghidupi kebutuhan anak angkat
tersebut, di samping syarat-syarat lainnya, yakni persyaratan melakukan
perbuatan hukum pada umumnya, karena pengangkatan anak merupakan perbuatan
hukum, seperti harus berakal sehat, dewasa, tidak dipaksa, bermotif positif
bagi anak dan orang tua angkat.
Sedang bagi orang tua asal (kandung)
anak syaratnya adalah bahwa anak yang dilepaskan kepada orang lain adalah
benar-benar anaknya yang sah dan dalam melepaskannya harus dengan suka rela,
bukan atas paksaan.
Syarat bagi anak yang diangkat (SEMA
No. 6/1983):
1. Dalam hal calon anak angkat tersebut berada
dalam asuhan suatu Yayasan Sosial harus dilampirkan surat izin tertulis Menteri
Sosial bahwa Yayasan yang bersangkutan telah diizinkan bergerak di bidang
kegiatan pengangkatan anak. Ini berarti bagi pengangkatan anak yang tidak
diasuh dalam Yayasan Sosial tidak memerlukan surat izin dimaksud.
2.Calon anak angkat yang berada dalam asuhan Yayasan
Sosial yang dimaksud di atas harus pula mempunyai izin tertulis dari Menteri
Sosial atau Pejabat yang ditunjuk bahwa anak tersebut diizinkan untuk
diserahkan sebagai anak angkat.
3.Bagi pengangkatan anak WNA oleh orang tua angkat WNI dan anak WNI oleh
orang tua angkat WNA, usia anak yang diangkat harus belum mencapai umur 5
tahun; dan ada penjelasan dari Menteri Sosial/pejabat yang ditunjuk bahwa anak
WNA/WNI tersebut diizinkan untuk diangkat sebagai anak angkat oleh orang tua
angkat WNI/WNA yang bersangkutan
4.Pengangkatan anak antar WNI yang langsung dilakukan antara orang tua
kandung dengan orang tua angkat (private adoption) diperbolehkan. Begitu
pula pengangkatan anak antar WNI yang dilakukan oleh seorang yang tidak terikat
dalam perkawinan sah/belum menikah (single parent adoption) diperbolehkan.
5.Sedang pengangkatan anak WNA/WNI oleh orang tua angkat WNI/WNA harus
dilakukan melalui Yayasan Sosial yang memiliki izin dari Menteri Sosial,
sehingga pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orang tua kandung
dengan calon orang tua angkat (private adoption) tidak
diperbolehkan. Demikian juga pengangkatan anak oleh orang yang tidak terikat
dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption) tidak
diperbolehkan.
6. Di samping itu bagi orang tua angkat WNA harus telah berdomisili dan
bekerja tetap di Indonesia sekrang-kuranya 3 tahun dan harus disertai izin
tertulis Menteri Sosial atau pejabat yang ditunjuk, bahwa calon orang tua
angkat WNA memperoleh izin untuk mengajukan permohonan pengangkatan anak
seorang warga negera Indonesia;
Syarat-syarat tersebut apabila
ditinjau dari sudut hukum Islam dapat dibenarkan, karena semua itu bertujuan
demi mewujudkan kesejahteraan anak atau demi menghindarkan aksi penyalahgunaan
pengangkatan anak untuk kepentingan tertentu yang dapat menimbulkan
kesengsaraan dan kemelaratan anak. Hal demikian sejalan dengan prinsip-prinsip
hukum Islam, yakni menolak mafsadah dan meraih maslahah (daf’ul mafaasid wa
jalbul mashaalih).
2.3.1
AKIBAT
HUKUM YANG TIMBUL DENGAN ADANYA PENGANGKATAN ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Akibat yang ditimbulkan
dari pengangkatan anak (adopsi) yang dilarang dan harus dihindari, antara lain:
1.
Untuk menghindari terganggunya hubungan
keluarga berikut hak-haknya. Dengan pengangkatan anak berarti kedua belah pihak
(anak angkat dan orang tua angkat) telah membentuk keluarga baru yang mungkin
akan menganggu hak dan kewajiban keluarga yang telah ditetapkan Islam.
2.
Untuk menghindari terjadinya
kesalahpahaman antara yang halal dan yang haram. Dengan masuknya anak angkat ke
dalam salah satu keluarga tertentu, dan dijadikan sebagai anak kandung, maka ia
menjadi mahram, dalam arti ia tidak boleh menikah dengan orang yang sebenarnya
boleh dinikahinya. Bahkan sepertinya ada kebolehan baginya melihat aurat orang
lain yang seharusnya haram dilihatnya.
3.
Masuknya anak angkat ke dalam keluarga
orang tua angkatnya bisa menimbulkan permusuhan antara suatu keturunan dalam keluarga
itu. Seharusnya anak angkat tidak memperoleh warisan tetapi menjadi ahli waris,
sehingga menutup bagian yang seharusnya dibagikan kepada ahli waris yang berhak
menerimanya.
4.
Islam, kata Wahbah Az-Zuhaili (seorang
ahli Hukum Islam dari Suriah) adalah agaman keadilan dan menegakkan kebenaran.
Oleh karena itu, salah satu cara untuk menegakkan keadilan dan kebenaran itu
wajib menisbahkan (menghubungkan) anak kepada ayahnya yang sebenarnya.
Rasulullah SAW bersabda bahwa “anak itu dihubungkan pada laki-laki yang
seranjang dengan ibunya (maksudnya ayahnya), (HR. Jamaah, kecuali at-Tirmidzi).
Dengan demikian anak tidak boleh dinisbahkan kepada seseorang yang sebenarnya
bukan ayahnya.
5.
Jika Islam memperbolehkan lembaga
pengangkatan anak, maka akan membuka peluang bagi orang mengangkat anak yang
berbeda agama dengannya, yang mengakibatkan berbaurnya agama dalam suatu
keluarga. Akibat hukum lain pun akan muncul, seperti larangan agama untuk
saling mewarisi jika salah satu pihak beragama Islam dan pihak lain tidak. Bisa
juga terjadi perpindahan agama atau pemaksaan agama tertentu secara tidak
langsung kepada anak angkat. Hal ini sangat dilarang oleh Al-Qur’an[20].
Para ulama sepakat bahwa pengangkatan anak hanya dibolehkan dalam rangka saling
tolong-menolong dan atas dasar rasa kemanusiaan, bukan pengangkatan anak yang
dilarang oleh Islam.
Berdasarkan uraian di atas dapat kita pahami, bahwa
bentuk pengangkatan anak ada dua macam menurut Syekh Mahmud Syaltut:
1) Pengangkatan
anak (tabanni) yang dilarang:
a. sebagaimana
tabanni yang dipraktikkan oleh masyarakat jahiliyah dan hukum perdata sekuler
b. yang
menjadikan anak angkat sebagai anak kandung dengan segala hak-hak sebagai anak
kandung.
c. Memutuskan
hubungan hukum dengan orang tua asalnya
d. Menisbahkan
ayah kandungnya kepada ayah angkatnya
2) Pengangkatan
anak (tabanni) yang dianjurkan:
a. Pengangkatan
anak yang didorong motivasi beribadah kepada Allah SWT dengan menanggung nafkah
sehari-hari, biaya pendidikan, pemeliharaan dan lain-lain tanpa harus
memutuskan hubungan hukum dengan orang tua kandungnya
b. Tidak
me-nasab-kan dengan orang tua
angkatnya
c. Tidak
menjadikannya sebagai anak kandung sendiri dengan segala hak-haknya.
Ahmad AL-Bari,
mengatakan bahwa “Mengambil dan merawat anak yang terlantar tanpa harus memutus
nasab orang tua kandungnya adalah
wajib hukumnya yang menjadi tanggung jawab masyarakat secara kolektif, atau
dilaksanakan oleh beberapa orang sebagai kewajiban kifayah. Tetapi hukum
tersebut dapat berubah menjadi fardlu’ain
apabila seseorang menemukan anak terlantar atau anak terbuang di tempat
yang sangat membahayakan atas nyawa anak itu[21].
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa memungut, mengasuh, memelihara, dan mendidik anak-anak
yang terlantar demi kepentingan dan kemaslahatan anak dengan tidak memutuskan masab orang tua kandungnya adalah
perbuatan yang terpuji dan dianjurkan oleh ajaran Islam, bahkan dalam kondisi
tertentu di mana tidak ada orang lain yang memeliharanya, maka bagi orang yang
mampu secara ekonomi dan psikis yang menemukan anak terlantar tersebut
hukumannya wajib untuk mengambil dan memeliharanya tanpa harus memutuskan
hubungan nasab dengan orang tua
kandungnya.
BAB
III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada
bab-bab sebelumnya, maka dapatlah disimpulkan bahwa :
1.
Memungut, mengasuh, memelihara, dan
mendidik anak-anak yang terlantar demi kepentingan dan kemaslahatan anak dengan
tidak memutuskan nasab orang tua
kandungnya adalah perbuatan yang terpuji dan dianjurkan oleh ajaran Islam,
bahkan dalam kondisi tertentu di mana tidak ada orang lain yang memeliharanya,
maka bagi orang yang mampu secara ekonomi dan psikis yang menemukan anak
terlantar tersebut hukumannya wajib untuk mengambil dan memeliharanya tanpa
harus memutuskan hubungan nasab
dengan orang tua kandungnya.
2.
Hukum Islam menggariskan bahwa hubungan hukum antara orang tua angkat dengan
anak angkat terbatas sebagai hubungan antara orang tua asuh dengan anak asuh
yang diperluas, dan sama sekali tidak menciptakan hubungan nasab. Akibat hukum
dari pengangkatan anak dalam islam hanyalah terciptanya hubungnan kasih dan
sayang dan hubungan tanggung jawab sebagai sesama manusia. Karena tidak ada hubungan
nasab, maka konsekuensi hukum lainnya adalah antara orang tua angkat dengan
anak angkat harus menjaga mahram, dan karena tidak ada hubungan nasab, maka
keduanya dapat melangsungkan perkawinan.
1.2 Saran
1.
Diharapkan dengan makin meningkatnya kesadaran beragama masyarakat muslim maka
makin mendorong semangat untuk melakukan koreksi terhadap hal-hal yang
bertentangan dengan syariat Islam, antara lain masalah pengangkatan anak. Hasil
ikhtiar ini mulai tampak dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) sebagai
pedoman hukum materiil peradilan agama mengakui eksistensi lembaga pengangkatan
anak dengan mengatur anak angkat dalam rumusan Pasal 171 huruf h dan Pasal 209.
Peradilan Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam secara konsisten mengawal penerapan
hukumnya sehingga berpengaruh positif terhadap kesadaran masyarakat yang
beragama Islam untuk melakukan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.
2. Disarankan kepada instansi pemerintah
khususnya instansi-instansi pemerintah yang terkait dengan masalah pengangkatan
anak yaitu Peradilan Agama, Dinas Sosial, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
agar lebih meningkatkan sumber daya manusia yang ada didalamnya untuk lebih
meningkatkan sosialisasi terhadap produk peraturan perundang-undangan yang
terbaru mengenai pengangkatan anak sehingga diharapkan dengan adanya sosialisasi
maka akan adanya pengusaan materi mengenai pengangkatan anak dengan segala
kompleksitas permasalahan yang ada didalamnya. Dengan adanya penguasaan materi mengenai
pengangkatan anak maka permasalahan yang akan timbul akan dapat lebih
diminimalisasi dan diberikan solusi yang cepat, terbaik dan tepat.
3.
Diharapkan kepada seluruh Warga Negara Indonesia bahwa harus ada pengetahuan
yang jelas dari calon orang tua angkat dan orang tua kandung yang akan diangkat
orang lain, perihal perbedaan prinsip Hukum Pengangkatan Anak yang diajukan dan
diputus Pengadilan Negeri, dengan pengangkatan anak yang diajukan dan diputus
Pengadilan Agama. Pengetahuan dan kesadaran hukum tentang perbedaan hukum
pengangkatan anak tersebut seharusnya sudah diketahui dan disadari pada saat
akan mengajukan perkara permohonan, sehingga mereka dapat dengan tepat memilih
pengadilan mana yang akan memberikan penetapan, yang kemudian akan berdampak
pada akibat hukum yang ditimbulkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Andi
Syamsu Alam dan M. Fauzan, 2008, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta.
Mahjudin,2003,
Nasailul Fiqhiyah, Kalam Mulia, Jakarta.
Muhyidin, Wawancara Pribadi, Pengurus Majelis
Ulama Indonesia ( MUI ) Provinsi Jawa Tengah, Tanggal 1 Juni 2009.
QS.
Al-Baqarah (2), ayat:256
Zakaria
Ahmad Al – Barry, 2004, Hukum Anak – Anak Dalam Islam, Bulan Bintang,
Jakarta.
Kamus
Munjid; Lihat juga Ibrahim Anis dan Abdul Halim Muntashir (et al). Al-Mu’jam al-wasith,
Mishr; Majma’ al-Lughah al-Arabiyah. 1392 H/1972 M, Cet. II, Jilid I, hal.
72
Depdikbud, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta
http://www.perspektif-hukum-islam.html
[1] Republik
Indonesia,Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, tentang Penyebarluasan Kompilasi
Hukum Islam, Pasal 171 huruf h.
[2] Republik
Indonesia, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 angka
9.
[3]
Soerjono
Soekanto, Tata Cara Penyusunan Karya Tulis Ilmiah, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1983, hlm 13.
[4]
Jonathan Crowther (Ed). Oxford Advanced
Leaner’s Dictionary, (Oxford University: 1996), hal. 16
[5]
Simorangkir, JCT. Kamus Hukum,
(Jakarta: Aksara Baru, 1987), hal. 4
[6]
Kamus Munjid; Lihat juga Ibrahim Anis dan Abdul Halim Muntashir (et al). Al-Mu’jam al-wasith, Mishr; Majma’ al-Lughah al-Arabiyah. 1392
H/1972 M, Cet. II, Jilid I, hal. 72
[7]
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
(Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal. 7
[8]
Muhammad Ali Al-Sayis. Tafsir Ayat
al-Ahkam. (Mesir: Mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa Auladih, 1372 H/1953 M.
Jilid IV, hal. 7
[9]
Wahbah al-Zuhaili. Al-Fiqh al-Islami wa
al-Adillatuhu,Juz.9 (Beirut: Daral-Fikr al-Ma’ashir, Cet. IV. 1997). Hal.
271.
[10] Maulah
adalah yang menjadi wali hamba sahaya.
[11] QS.
An-Nur/24: 32
[12] QS.
An-Nisa/4: 23
[13]
Pengangkatan anak dalam Islam konteksnya lebih tepat disebut anak asuh yang
diperluas. Rifyal Ka’bah menyebutnya dengan istilah Hahlanah yang diperluas, Anak asuh yang diperluas, karena dalam
pengangkatan anak-anak, harus melalui proses penetapan Pengadilan Agama,
sedangkan pengasuhan anak tidak memerlukan suatu proses penetapan pengadilan.
[14]
Mahjuddin. Masailul Fiqhiyah, (Jakarta:
Kalam Mulia, 2003), hal. 87
[15]
Muhyidin,
Wawancara Pribadi, Pengurus Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) Provinsi Jawa
Tengah,
Tanggal 29 Mei 2009.
[17]
Muhyidin,
Muhyidin, Wawancara Pribadi, Pengurus Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) Provinsi
Jawa Tengah, Tanggal 29 Mei 2009.
[18]
Muhyidin,
Wawancara Pribadi, Pengurus Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) Provinsi Jawa
Tengah, Tanggal 1 Juni 2009.
[19]
Muhyidin,
Wawancara Pribadi, Pengurus Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) Provinsi Jawa
Tengah, Tanggal 29 Mei 2009.
[20] QS.
Al-Baqarah (2), ayat:256
[21] Zakariah
Ahmad Al-Bari. Ahkam al-Aulad fi al-Islam. (Jakarta: Bulan Bintang,
1977), hal. 35