Rabu, 19 Juni 2013

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM


SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM
       Penulis-penulis sejarah Hukum Islam telah mengadakan pembagian tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan Hukum Islam. Pembagian ke dalam tahap-tahap ini tergantung pada tujuan dan ukuran yang mereka pergunakan dalam mengadakan pentahapan. Ada yang membaginya ke dalam 5, 6 atau 7 tahapan. Namun pada umumnya mereka membagi tahap-tahap perkembangan dan pertumbuhan Hukum Islam itu ke dalam 5 masa:
1.      Masa Nabi Muhammad (610-632 M)
2.      Masa Khulafa Rasyidin (632-662 M)
3.      Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan (abad VII-X M)
4.      Masa Kelesuan Pemikiran (abad X-XIX M)
5.      Masa Kebangkitan Kembali (abad XIX M sampai sekarang)
       Berikut adalah penjabran dari ke lima masa sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam:
1.1    Masa Nabi Muhammad (610-632 M)
       Agama Islam sebagai induk hukum Islam muncul di Semenanjung Arab, di suatu daerah tandus yang dikelilingi oleh laut pada ketiga sisinya dan lautan pasir pada sisi keempat. Daerah ini adalah daerah yang sangat panas, di tengah-tengah gurun pasir yang amat sangat luas yang mempengaruhi cara hidup dan cara berfikir orang-orang Badui yang tinggal di tempat itu. Untuk memperoleh air bagi makanan ternaknya, mereka selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Alam yang begitu keras membentuk manusia-manusia individualistis. Perjuangan memperoleh air dan padang rumput merupakan sumber-sumber perselisihan antar mereka. Dan karena itu pula mereka hidup dalam klen-klen yang disusun berdasarkan garis patrilineal, yang saling bertentangan.[1]
       Kedudukan anak laki-laki sangat penting dalam sebuah keluarga karena melalui anak laki-laki inilah garis keturunan ditarik dan dia pulalah di dalam keluarga yang dianggap akan meneruskan keturnan dan membawa nama baik keluarganya. Dan karena statusnya yang demikian, maka laki-laki mempunyai kekuasaan yang amat besar dibanding wanita. Kedudukan wanita dipandang sangat rendah, wanita hanya dibebani kewajiban tanpa imbalan hak sama sekali.[2] Karena itu pula, jika lahir anak perempuan dalam satu rumah tangga, seluruh keluarga menjadi malu karena merasa tidak bisa mempertahankan keturunannya. Karena itu keluarga bersangkutan, berusaha untuk melenyapkan nyawa bayi wanita atau membunuhnya kemudian setelah ia berumur beberapa tahun.
       Pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun Gajah yang bertepatan dengan tanggal 20 April tahun 571 Masehi, lahirlah seorang bayi yang oleh ibunya (Aminah) diberi nama Ahmad, dan oleh kakeknya Abdul Muthalib dinamakan Muhammad. Kedua nama ini berasal dari satu akar kata yang di dalam bahasa Arab berarti terpuji atau yang dipuji.[3]
       Setelah ibunya meninggal Muhammad dipelihara oleh kakeknya yang bernama Abdul Muthalib dan setelah kakeknya meninggal dunia pula, Muhammad masih diasuh oleh pamannya Abu Thalib. Muhammad berasal dari keluarga terhormat tetapi tidak kaya dan sebagai seorang pemuda ia hidup di kalangan mereka yang berkuasa di Mekah. Pada usia 25 tahun beliau kawin dengan seorang janda yang bernama Khadijah yang umurnya lima belas tahun lebih tua dari beliau dan masih mempunyai hubungan kekerabatan.
       Pada waktu masyarakat Arab dalam keadaan yang memprihatinkan Nabi Muhammad sering menyendiri di gua Hira selama bulan Ramadhan. Ketika beliau mencapai umur 40 tahun, yakni pada tahun 610 Masehi, beliau menerima wahyu pertama. Pada waktu itu beliau ditetapkan sebagai Rasul atau Utusan Allah. Tiga tahun kemudian, Malaikat Jibril membawa perintah Allah untuk menyebarluaskan wahyu yang diterimanya kepada umat manusia.[4]
       Namun selain itu Nabi Muhammad juga membawa wahyu-wahyu Allah tentang ayat-ayat hukum. Menurut penelitian Abdul Wahab Khallaf, Guru Besar Hukum Islam Universitas Kairo, ayat-ayat hukum mengenai soal-soal ibadah jumlahnya 140 ayat dalam Al Qur’an. Ayat-ayat ibadah ini berkenaan dengan soal shalat, zakat dan haji. Sedangkan ayat-ayat hukum mengenai mu’amalah jumlahnya 228, lebih kurang 3% dari jumlah seluruh ayat-ayat yang terdapat dalam l Qur’an. Klasifikasi 228 ayat hukum yang terdapat dalam Al Qur’an itu menurut penelitian Prof. Abdul Wahhab Khallaf adalah sebagai berikut:
1.      Hukum Keluarga yang terdiri dari hukum perkawinan dan kewarisan sebanyak 70 ayat.
2.      Hukum Perdata lainnya, di antaranya hukum perjanjian (perikatan) terdapat 70 ayat.
3.      Mengenai hukum ekonomi keuangan termasuk hukum dagang terdiri dari 10 ayat.
4.      Hukum Pidana terdiri dari 30 ayat
5.      Hukum Tata Negara terdapat 10 ayat
6.      Hukum Internasional terdapat 25 ayat
7.      Hukum Acara dan Peradilan terdapat 13 ayat.
       Ayat-ayat tersebut pada umumnya berupa prinsip-prinsip saja yang harus dikembangkan lebih lanjut sewaktu Nabi Muhammad masih hidup, tugas untuk mengembangkan dan menafsirkan ayat-ayat hukum ini terletak pada diri beliau sendiri melalui ucapan, perbuatan dan sikap diam beliau yang disebut sunnah yang kini dapat dibaca dalam kitab-kitab hadis.
1.2    Masa Khulafa Rasyidin (632-662 M)
       Dengan wafatnya Nabi Muhammad, berhentilah wahyu yang turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari yang beliau terima melalui malaikat Jibril baik waktu beliau masih berada di Makkah maupun setelah hijrah ke Madinah. Demikian juga halnya dengan sunnah, berakhir pula dengan meninggalnya Rasulullah.
       Kedudukan nabi sebagai utusan Allah tidak mungkin diganti, tetapi tugas beliau  sebagai pemimpin masyarakat Islam dan kepala negara berpindah kepada Khulafa Rasyidin (khalifah). Pengganti nabi sebagai khalifah dipilih dari kalangan sahabat nabi sendiri. (Sahabat artinya: teman,rekan, kawan. Sahabat nabi adalah orang hidup semasa dengan nabi, menjadi teman atau kawan Nabi Muhammad dalam menyebarluaskan ajaran Islam). Pada masa Khulafaur Rasyidin ini perkembangan hukum islam dibagi menjadi empat periode:


1)      Khalifah Abu Bakar As-Siddiq
      Setelah nabi wafat, Abu Bakar As-Siddiq diangkat sebagai khalifah pertama. Khalifah adalah pimpinan yang diangkat setelah nabi wafat untuk menggantikan nabi dan melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan pemerintah. Abu bakar adalah ahli hukum yang tinggi mutunya. Ia memerintah selama dua tahun (632-634    M). Sebelum masuk Islam, dia terkenal sebagai orang yang jujur dan disegani. Ikut aktif mengembangkan dan menyiarkan Islam. Atas usaha dan seruannya banyak orang-orang terkemuka memeluk agama Islam yang kemudian terkenal sebagai pahlawan-pahlawan Islam yang ternama. Dan karena hubungannya yang sangat dekat dengan Nabi muhammad, beliau mempunyai pengertian yang dalam tentang jiwa Islam lebih dari yang lain. Karena itu pula pemilihannya sebagai khalifah pertama adalah tepat sekali.[5] Berikut adalah hal-hal penting dalam masa pemerintahannya:
a)      Pidato pelantikannya dijadikan dasar dalam menentukan hubungan antara rakyat dengan penguasa juga antara pemerintah dengan warga negara.
b)      Cara penyelasaiannya jika timbul masalah di dalam masyarakat mula-mula pemecahan masalahnya dicari dalam wahyu Allah. Kalu tidak terdapat disana, dicarinya dalam sunnah nabi. Kalau dalam sunnah Rasulullah ini pemecahan masalah tidak diperoleh, Abu Bakar bertanya kepada para sahabat nabi yang dikumpulkannya dalam satu majlis. Mereka yang duduk dalam majlis itu melakukan ijtihad bersama (jam’i) atau ijtihad kolektif. Timbullah keputusan atau konsensus bersama yang disebut ijmak mengenai masalah tertentu. Sehingga dalam masa pemerintahan ini sering disebut Ijmak Sahabat.
c)      Atas anjuran Umar, dibentuklah panitia khusus yang bertugas mengumpulkan catatan ayat-ayat Al Qur’an yang telah ditulis pada zaman nabi. Setelah Abu Bakar wafat himpunan naskah Al Qur’an disimpan oleh Umar Bin Khattab dan diberikan kepada Hafsah (janda Nabi Muhammad).
2)      Khalifah Umar Bin-Khatab
      Setelah Abu Bakar meninggal dunia, Umar menggantikan kedudukannya sebagai khalifah II. Beliau memerintah dari tahun 634-644 Masehi. Semasa pemerintahan Saidina Umar, kekuasaan Islam berkembang dengan pesat ia selalu:
a)      Umar turut aktif menyiarkan agama Islam. Ia melanjutkan usaha Abu Bakar meluaskan daerah Islam hingga menguasai Mesopotamia dan sebagian kawasan Parsi dari pada kekuasaan Persia (berjaya menamatkan kekuasaan persia), dan menguasai Mesir, Palestina, Baitulmaqdis, Syria, Afrika Utara, dan Armenia dari pada Byzantine (Romawi Timur).
b)      Menetapkan tahun Islam yang terkenal dengan tahun Hijriyah berdasarkan peredaran bulan (Qamariyah)
c)      Membiasakan melakukan shalat at-tarawih, yaitu shalat sunnat malam yang dilakukan setelah shalat isya pada bulan Ramadhan.
       Saidina Umar banyak melakukan reformasi terhadap sistem pemerintahan Islam seperti mengangkat gubernur-gubernur di kawasan yang baru ditakluk dan melantik panglima-panglima perang yang berkebolehan. Semasa pemerintahannya juga kota Basra dan Kufah dibina. Saidina Umar juga amat dikenali karena kehidupannya yang sederhana. Beliau juga melakukan banyak sekali tindakan di lapangan hukum:
a)      Tentang talak tiga diucapkan sekaligus di suatu tempat pada suatu ketika, dianggap sebagai talak yang tidak mungkin rujuk (kembali) sebagai suami istri, kecuali salah satu pihak (dalam hal ini bekas istri) kawin lebih dahulu dengan orang lain.
b)      Al Qur’an telah menetapkan golongan-golongan yang berhak menerima zakat, termasuk muallaf  (orang-orang yang baru memeluk agama  islam) ditetapkan sebagai Mustahib (orang yang menerima zakat).
c)      Menurut Al Qur’an surat Al-Maidah (5) ayat 38 orang yang mencuri diancam dengan hukuman potong tangan
d)     Di dalam Al Qur’an (QS 5:5) terdapat ketentuan yang membolehkan pria muslim menikahi wanita ahlul kitab (wanita Yahudi dan Nasrani).[6]
       Saidina Umar wafat pada tahun 644 selepas dibunuh oleh seorang hamba Parsi yang bernama Abu Lu’lu’ah. Dia menikam Saidina Umar sebanyak enam kali sewaktu Saidina Umar menjadi imam di Masjid al-Nabawi, Madinah. Saidina Umar meninggal dunia dua hari kemudian dan dikebumikan di sebelah makam Nabi Muhammad SAW dan makam Saidina Abu Bakar.
3)        Kholifah Utsman Bin Affan
Selanjutnya masuk ke dalam masa pemerintahan Utsman Bin Affan yang berlangsung dari tahun 644-656 M. Ketika dipilih, Usman telah tua berusia 70 tahun dengan kepribadian yang agak lemah. Kelemahan ini dipergunakan oleh orang-orang di sekitarnya untuk mengejar keuntungan pribadi, kemewahan dan kekayaan. Hal ini dimanfaatkan terutama oleh keluarganya sendiri dari golongan Umayyah.
Kemudian perluasan daerah Islam diteruskan ke India, Maroko dan Konstantinopel. Jasanya yang paling besar dan yang paling penting yaitu tindakannya telah membuat Al Qur’an standar (kodifikasi Al Qur’an). Standarisasi Al Qur’an dilakukannya karena pada masa pemerintahannya, wilayah Islam telah sangat luas di diami oleh berbagai suku dengan bahasa dan dialek yang berbeda. Karena itu, dikalangan pemeluk agama Islam, terjadi perbedaan ungkapan dan ucapan tentang ayat-ayaat Al Qur’an yang disebarkan mealui hafalan.
4)        Khalifah Ali Bin Abi Thalib
                  Setelah Usman meninggal dunia, orang-orang terkemuka memilih Ali Bin Abi Thalib menjadi khalifah ke-4. Ia memerintah dari tahun 656-662 M. Ali tidak dapat berbuat banyak dalam mengembangkan agama Islam karena keadaan negara tidak stabil. Di sana timbul bibit-bibit perpecahan yang serius dalam tubuh umat Islam yang bermuara pada perang saudara yang kemudian menimbulkan kelompok-kelompok. Di antaranya dua kelompok besar yakni, kelompok Ahlussunah Wal Jama’ah, yaitu kelompok atau jamaah umat Islam yang berpegang teguh pada Sunnah Nabi Muhammad dan Syi’ah yaitu pengikut Ali Bin Abi Thalib.
      Penyebab perpecahan diantara dua kelompok ini adalah perbedaan pendapat mengenai “masalah politik” yakni siapa yang berhak menjadi khalifah, kemudian disusul dengan masalah pemahaman akidah, pelaksanaan ibadah, sistem hukum dan kekeluargaan. Golongan syi’ah sekarang banyak terdapat di Libanon, Iran, Irak, Pakistan, India dan Afrika Timur. Sumber hukum Islam di masa Khulafa Rasyidin ini adalah Al Qur’an, Ijma’ sahabat dan Qiyas.
1.3    Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan (abad VII-X M)
       Periode ini berlangsung pembinaan hukum islam dilakukan pada masa pemerintahan khalifah “Umayyah” (662-750) dan khalifah “Abbasiyah” (750-1258). Di masa inilah (1) Lahir para ahli hukum Islam yang menemukan dan merumuskan garis-garis hukum fikih Islam; (2) muncul berbagai teori hukum Islam yang masih digunakan sampai sekarang.[7]
       Adapun faktor-faktor yang mendorong orang menetapkan hukum dan merumuskan garis-garis hukum adalah[8]:
1.    Wilayah Islam sudah sangat luas dari Hindia, Tiongkok sampai ke Spanyol maka tinggal berbagai suku bangsa dengan adat istiadat, cara hidup kepentingan yang berbeda oleh karena itu diperlukan pedoman hukum yang jelas yang dapat mengatur tingkah laku mereka dalam berbagai bidang kehidupan
2.    Telah ada karya-karya tulis tentang hukum yang dapat digunakan sebagai landasan untuk membangun serta mengembangkan fikih islam.
3.    Telah tersedia para ahli hukum yang mampu berijtihad untuk memecahkan berbagai masalah hukum dalam masyarakat.
       Pada periode inilah muncul para mujtahid yang sampai sekarang masih berpengaruh dan pendapatnya diikuti oleh umat Islam diberbagai belahan dunia. Mereka itu diantaranya adalah:

1.      Imam Abu Hanifah (Al-Nukman ibn Tsabit) : 700-767 M
      Ia lahir di Kufah pada tahun 80 H dan wafat di Bagdad pada tahun 150 H. Sebagaimana ulama yang lain, Abu Hanifah memiliki banyak halangan untuk berdiskusi berbagai ilmu agama. Semula materi yang sering di diskusikan adalah tentang ilmu kalam yang meliputi al-Qada dan Qadar. Kemudian ia pindah ke materi-materi fiqh Al-Khatib al-Bagdadi menuturkan bahwa Abu Hanifah tadinya selalu berdiskusi tentang ilmu kalam.
      Sebagaimana ulama lain, sumber syariat bagi Abu Hanifah adalah Al-Qur’an dan Al-Snnah, akan tetapi ia tidak mudah menerima hadiah yang diterimanya. Lahannya menerima hadis yang diriwayatkan oleh jama’ah dari jama’ah, atau hadist yang disepakati oleh fuqaha di suatu negeri dan diamalkan; atau hadist ahad yang diriwayatkan dari sahabat dalam jumlah yang banyak (tetapi tidak mutawatir) yang di pertentangkan.[9]
      Abu Hanifah dikenal sebagai imam ahlul al-ra’yu, dalam menghadapi nas al-Qur’an dan al-Sunnah. Maka ia dikenal sebagai ahli di bidang ta’lil al-ahkam dan qiyas.
2.      Malik Bin Anas: 713-795 M
      Ia lahir pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H. Malik  bin Anas tinggal di Madinah dan tidak pernah kemana-mana kecuali beribadah Haji ke Mekkah. Imam Malik menempatkan Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama, kemudian al hadist sedapat mungkin hadist yang mutawatir atau masyhur.
3.      Muhammad Idris Al-Syafi’i: 767-820 M
      Ia lahir di Ghazah atai Asqalan pada tahun 150 H. Ia berguru kepada Imam Malik di Madinah. Kesetiannya kepada Imam Malik ditunjukkan dengan nyantri di tempat sang guru hingga sang guru wafat pada tahun 179 H. Imam Syafi’i pernah juga berguru kepada murid-murid Abu Hanifah. Ia tinggal di Bagdad selama dua tahun, kemudian kembali ke Mekkah. Akan tetapi tidak lama kemudian ia kembali ke Irak pada tahun 198 H, dan berkelana ke Mesir.
      Dalam pengembaraannya, ia kemudian memahami corak pemikiran ahl al-ra’yu dan ahl al-Hadis. Ia berpendapat bahwa tidak seluruh metode ahl al-ra’yu baik diambil sama halnya tidak seluruh metode ahl al-Hadis harus diambil. Akan tetapi menurutnya tidak baik pula meninggalkan seluruh metode berpikir mereka masing-masing. Dengan demikian Imam Syafi’i tidak fanatik terhadap salah satu mazhab, bahkan berusaha menempatkan diri sebagai penegah antara kedua metode berpikir yang ekstrim. Ia berpendapat bahwa qiyas merupakan metode yang tepat untuk menjawab masalah yang tidak manshus.[10] Menurut Imam Syafi’i tata urutan sumber Hukum Islam adalah:
1)    Al Qur’an dan Al-Sunnah
2)   Bila tidak ada dalam Al Qur’an dan Al Sunnah, ia berpindah ke Ijma.
4.      Ahmad Bin Hambal (Hanbal): 781-855 M 
      Ia lahir di Bagdad pada tahun 164 H. Ia tinggal di Bagdad sampai akhir hayatnya yakni tahun 231 H. Negeri-negeri yang pernah ia kunjungi untuk belajar antara lain adalah Basrah, Mekkah, Madinah, Syam dan Yaman. Ia pernah berguru kepada Imam Syafi’i di Bagdad dan menjadi murid Imam Syafi’i yang terpenting, bahkan ia menjadi mujtahid sendiri.
      Menurut Imam Ahmad, sumber hukum pertama adalah Al-Nushush, yaitu Al Qur’an dan Al Hadist yang marfu. Apabila persoalan hukum sudah didapat dalam nas-nas tersebut, ia tidak beranjak ke sumber lain, tidak pula menggunakan “metode ijtihad”. Apabila terdapat perbedaan pendapat di antara para sahabat, maka Imam akan memilih pendapat yang paling dekat dengan Al Qur’an dan Al Sunnah.
1.4    Masa Kelesuan Pemikiran (abad X-XIX M)
       Sejak abad kesepuluh dan kesebelas Masehi, ilmu hukum Islam mulai berhenti berkembang. Para ahli hukum pada masa ini hanya membatasi diri, mempelajari pikiran-pikiran para ahli hukum sebelumnya yang telah dituangkan dalam berbagai madzab.
       Yang menjadi ciri umum pemikiran hukum dalam periode ini adalah para ahli hukum tidak lagi memusatkan usahanya untuk memahami prinsip-prinsip atau ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al Sunnah, tetapi pikiran-pikirannya ditumpukan pada pemahaman perkataan-perkataan, pikiran-pikiran hukum para imam-imamnya. Dinamika yang terus-menerus tidak lagi ditampung dengan pemikiran hukum pula. Pada saat itu masyarakat yang terus berkembang tidak diiringi dengan pengembangan pemikiran hukum Islam bahkan pemikiran hukum Islam berhenti. Keadaan ini dalam sejarah dikenal dengan periode “kemunduran” dalam perkembangan hukum Islam. Yang disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1.    Kesatuan wilayah Islam yang luas, telah retak dengan munculnya beberapa negara baru baik di Eropa, Afrika, Timur Tengah dan Asia.
2.    Ketidak stabilan politik yang menyebabkan ketidak stabilan berfikir.
3.    Pecahnya kesatuan kenegaraan/ pemerintahan itu menyebabkan merosotnya kewibawaan pengendalian perkembangan hukum.
4.    Dengan demikian timbullah gejala kelesuan berpikir dimana-mana dan para ahli tidak mampu lagi menghadapi perkembangan keadaan dengan mempergunakan akal pikiran yang merdeka dan bertanggungjawab. Dengan demikian perkembangan hukum Islam menjadi lesu dan tidak berdaya menghadapi tantangan zaman.[11]
1.5    Masa Kebangkitan Kembali (abad XIX sampai sekarang)
       Setelah mengalami kelesuan,kemunduran beberapa abad lamanya, pemikiran Islam bangkit kembali. Ini terjadi pada bagian kedua abad ke-19. Kebangkitan kembali pemikiran Islam timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid tersebut di atas yang telah membawa kemunduran hukum Islam. Muncullah gerakan-gerakan baru di antara gerakan para ahli hukum yang menyarankan kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah. Gerakan ini, dalam kepustakaan disebut gerakan salaf (salafiyah) yang ingin kembali kepada kemurnian ajaran Islam di zaman salaf (=permulaan), generasi awal dahulu.
       Sebagai reaksi terhadap taqlid di atas pada periode kemunduran itu sendiri telah muncul beberapa ahli yang ingin tetap melakukan ijtihad, untuk menampung dan mengatasi persoalan-persoalan perkembangan masyarakat. Pada abad ke-14 telah timbul seorang mujtahid besar, namanya Ibnu Taimiyyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziah (1292-1356). Dilanjutkan pada abad ke-17 oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab (1703-1787) yang terkenal dengan gerakan Wahabi yang mempunyai pengaruh pada gerakan Padri di Minangkabau (Indonesia). Usaha ini dilanjutkan kemudian oleh Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) di lapangan politik (H.M. Rasjidi, 1976:20). Ia menilai kemunduran umat Islam disebabkan antara lain karena penjajahan Barat. Karena itu, agar umat Islam dapat maju kembali, untuk itu ia menggalang persatuan seluruh umat Islam yang terkenal dengan nama Pan Islamisme.
       Cita-cita Jamaluddin kemudian dilanjutkan oleh muridnya Mohammad Rasjid Ridha (1865-1935) yang mempengaruhi pemikiran umat Islam di seluruh dunia. Di Indonesia, pikiran-pikiran Abduh diikuti antara lain oleh gerakan sosial dan pendidikan Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan di Yogyakarta tahun 1912.
       Paham Ibnu Taimiyah, seorang tokoh pemikir abad ke-14 M membagi ruang lingkup agama Islam ke dalam dua bidang besar yakni ibadah dan mu’amalah, dikembangkan lebih lanjut oleh Mohammad Abduh. Di antaranya adalah:
1.      Membersihkan Islam dari pengaruh-pengaruh dan kebiasaan-kebiasaan yang bukan Islam
2.      Mengadakan pembaruan dalam sistem pendidikan Islam, terutama di tingkat perguruan tinggi
3.      Merumuskan dan menyatakan kembali ajaran Islam menurut alam pikiran modern
4.      Mempertahankan/membela (ajaran) Islam dari pengaruh Barat dan serangan agama lain
5.      Membebaskan negeri-negeri yang penduduknya beragama Islam dari belenggu penjajahan
       Menurut Mohammad Abduh, dalam kehidupan sosial, kemiskinan dan kebodohan merupakan sumber kelemahan umat dan masyarakat Islam. Oleh karena itu kemiskinan dan kebodohan harus di “perangi” melalui pendidikan. Selain itu Poligami menurut Abduh adalah pintu darurat yang hanya dapat dilalui kalau terjadi sesuatu yang dapat membahayakan kehidupan perkawinan dan keluarga. Pemahaman Mohammad Abduh mengenai ayat ini sekarang tercermin dalam Undang-Undang perkawinan umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
       Mengenai mazhab, Mohammad Abduh bermaksud hendak menghapuskan dinding pemisah antar mazhab, sekurang-kurangnya mengurangi kalau tidak dapat menghapuskan kefanatikan mazhab sekaligus dan menganjurkan agar umat Islam yang memenuhi syarat kembali lagi menggali hukum Islam dari sumbernya yang asli, yakni Al Qur’an dan Sunnah Muhammad (Rasulullah), sebagaimana yang pernah terjaadi dalam sejarah (hukum) Islam.
       Ia bermaksud pula mengembalikan fungsi akal pikiran ke tempatnya yang benar dan mempergunakannya secara baik untuk memecahkan berbagai masalah dalam hidup dan kehidupan manusia pada zamannya. Mohammad Abduh terkenal dengan gerakan salaf (gerakan salafiyah) mempunyai pengaruh yang besar di negara-negara Islam.
       Zaman kebangkitan pemikiran hukum Islam ini dilanjutkan sekarang dengan sistem baru dalam mempelajari dan menulis hukum Islam. Di samping sistem pemberian materi kuliah khususnya di Fakultas Hukum yang telah berubah tersebut, juga diadakan cara-cara baru dalam menuliskan (melukiskan) hukum Islam. Selain kebangkitan pemikiran hukum Islam di kalangan orang-orang Islam sendiri, terutama di masa akhir-akhir ini, perhatian dunia terhadap perkembangan hukum Islam menjadi bertambah.
       Dalam rangka kembali kepada hukum Islam, akhirnya di Lybia dibentuk suatu Panitia Ilmiah Hukum yang akan mempelajari hukum Islam secara mendalam, di bawah pimpinan seorang ahli hukum terkenal bernama Ali Mansur. Panitia ini bertugas meneliti dan mempelajari hukum Islam dalam segala bidang. Bahan-bahan hukum yang mereka pergunakan dalam menyusun kodifikasi hukum Islam itu bukan hanya bahan-bahan yang terdapat di kalangan ahlus sunnah wal jama’ah saja, tetapi juga dari aliran lain yang terdapat dalam semua bahan-bahan hukum itu, dan memilih dengan hati-hati pemikiran-pemikiran yang sesuai dengan kondisi dan situasi umat Islam di abad ke-20 ini.
       Di Indonesia atas kerja sama Mahkamah Agung dengan Departemen Agama telah dikompilasikan Hukum Islam menegenai perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Kompilasi ini telah disetujui oleh para ulama dan ahli hukum Islam pada bulan Februari 1988 dan (tahun 1991) telah diberlakukan bagi umat Islam Indonesia yang menyelesaikan sengketa mereka di Peradilan Agama (salah satu unsur kekuasaan kehakiman di tanah air kita) sebagai hukum terapan.


[1] Philip K. Hitti, 1970: 13-16
[2] Daud, Mohammad Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan Tatata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007) hal. 155
[3] Muhammad Husein Haekal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakrta: Pustaka Jaya, 1979) , hal. 55
[4] Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum, 2002, hal:31
[5] Hazairin, 1955
[6] H.M Rasjidi: 1973
[7] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cetakan keenam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007) hal. 182
[8] Ibid, hal 165
[9] Muhammad Zuhri.op.cit, hal 98
[10] Ibid, hal: 113
[11] A. Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal. 174-175

7 komentar: